Pages

01 July 2010

Rendra mengenai Pembredelan 1994

21 Juni 1994, tiga media di Indonesia, Tempo, DeTik, dan Editor, dibredel karena dianggap melanggar peraturan mengenai pers yang telah ditetapkan oleh pemerintah Orde Baru saat itu. Pembredelan ini mengundang protes dari berbagai pihak. Salah satunya adalah penyair dan dramawan kawakan, Alm. Rendra.

7 Juli 1994, Alm. Rendra datang ke gedung DPR RI untuk menyampaikan isi hatinya mengenai pembredelan tersebut. Puisi di bawah ini merupakan puisi pembukaan pidatonya di depan para wakil rakyat tersebut.

"Aku tulis pamplet ini

karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah.
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng-iya-an.

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi.
Ketidakpastian merajalela.
Apa yang pasti hanya datang dari kekuasaan.
Di luar kekuasaan, kehidupan menjadi teka-teki,
menjadi mara bahaya,
menjadi isi kebon binatang.
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam.
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan.
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.

Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair.
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku.
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari air mata
yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkap keluh-kesah
yang teronggok bagai sampah.
Kegamangan.
Kecurgiaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Sengkuni melecehkan demokrasi.
Sensor mengganggu kepentingan umum.
Anarki kekuasaan merusak negara.

Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan
adalah saudara.
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.

Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca:
ternyata kita, toh, manusia!"

*dikutip dari buku Imran Hasibuan dan Sitok Srengenge berjudul "Bredel di Udara", diterbitkan tahun 1996 oleh Penerbit Institut Arus Studi Informasi (ISAI)

No comments:

Post a Comment

Pendapat Anda?