Dahimu
berkerut. "Barang bawaan kamu banyak banget," keluhmu sambil tetap
menurunkan dua koper besar dari bagasi mobil. Saat itu kami sedang berada di
terminal 2 Bandara Soekarno Hatta.
Aku memutar
bola mata. "Namanya juga ke Inggris, sayang. Jauh, seminggu pula,"
kataku. Akupun mengambil sebuah tas jinjing yang kelihatan besar namun dengan
mudah aku keluarkan.
"Itu
isinya apa? Kok ringan banget?" tanyamu sambil menunjuk tas jinjing tadi.
"Camilan.
Kamu tahu 'kan aku hobi ngemil."
"Setas
penuh? Ckckck..." katamu sambil menggelengkan kepala, lalu menutup pintu
bagasi.
Aku malas
membalas, tak mau merusak hari ini dengan kamu yang terus ngomel sejak
berangkat tadi. Mungkin bagi kamu hal ini terdengar konyol, tapi snack inilah
yang mewujudkan impianku ke Negeri Ratu Elizabeth.
Barang-barangku
sudah siap di troli. Kamu yang belum siap melepasku pergi. Sudah lima tahun aku
mengenalmu, dan aku hafal benar akan hobi mengomelmu setiap kali kamu merasa
akan merindukanku. Seperti waktu aku ditempatkan di luar kota tiga tahun lalu,
dan seperti saat ini.
Kamu tak
pernah suka berjauhan dariku. Kamu pernah mengatakan itu.
Tapi ini
mimpiku sejak dulu. Mimpi kedua terbesarku.
Aku mengusap
pipimu. “Cuma tujuh hari kok. Setelah itu kita rencanakan liburan ya,” kataku
sambil memaksakan senyum, padahal belum apa-apa akupun sudah merasakan rindu.
Kamu tersenyum dengan tatapan yang seperti tak mau lepas dariku, seperti pelukmu
kemudian. Sebuah kecupan di jidat terasa hangat sampai akhirnya aku harus
mendorong troli sendirian, sementara kamu masih berdiri di sana menatapku
sampai aku menghilang berbaur dengan calon penumpang lainnya.
*****
Heathrow, 15
jam kemudian. Jet lag segera menyusul setelah mati gaya menghabiskan belasan
jam di pesawat. Malas-malasan karena lelah, aku mengambil tas jinjing dari
overhead compartment dan berjalan menuju terminal bandara.
Di tengah
hasrat besarku untuk segera tergeletak di tempat tidur, aku mendengar
suara-suara di sekelilingku. Oh, aksen Inggris yang kental itu terdengar dari
percakapan orang-orang sampai petugas imigrasi tampan bersuara berat. Hampir
sama efeknya dengan membaca stensil, akupun turned on. Cengkeramanku pada
pegangan troli semakin kuat.
‘Welcome to
London’. Tulisan itu segera menghilangkan semua penatku. Lengkungan atap
Heathrow mengingatkanku akan irisan tipis keripik kentang Mister Potato yang
ada di tas jinjingku. Kubuka sebungkus, dan kerenyahannya menemaniku mengagumi
kemegahan bandara tersibuk ketiga di dunia ini.
Memanfaatkan
wifi bandara, aku mengirimkan foto diri sedang berpose di depan tulisan ‘London
Heathrow Airport’ kepada kamu. Kamupun membalas: “Have fun ya.”
Ya, ponsel
ini sudah terbiasa menerima pesan singkat dan tak romantis dari kamu. Iapun
terbiasa kubanting masuk ke tote bag karena untuk kesekian kalinya ekspektasiku
terhadap kamu berlebihan.
*****
Wajah dan
telapak tanganku menempel di kaca mobil, mengagumi keanggunan pohon-pohon yang
meranggas di musim gugur. Daun-daunnya
yang berubah warna menjadi merah kecokelatan melayang-layang sebelum bergabung
dengan teman-temannya di tanah basah.
Ah, aku selalu menyukai jalan yang tertutup bayangan pohon-pohon besar
di kanan-kirinya.
Saat ini aku
dan rombongan sedang menuju Old Trafford, markas Manchester United, klub bola
yang paling kamu idolakan. Rasanya masih belum percaya saat ini aku sedang menginjak
bagian bumi yang sama dengan Robin van Persie yang kamu puja.
Aku sendiri
lebih menyukai Liverpool. Bukan apa-apa, aku mengerti sepakbolapun tidak.
Namun, yang jelas, aku paham bahwa Steven Gerrard itu tampan.
Melihat
kemegahan Old Trafford Stadium, tubuhku merinding. Jajaran bangku penonton
bertuliskan ‘Manchester United’ membuatku berkhayal duduk di situ, menonton
permainan klub sepakbola papan atas dunia bersama kamu yang asyik berteriak
bersama supporter lainnya. Sementara itu, aku hanya menikmati euforia sambil
ngemil Smax Balls. Toh, bentuknya juga bulat seperti bola. Sesekali aku
mencomot Smax Chip punyamu yang berlubang-lubang seperti gawang.
“Wish you
were here, love…” Aku mengirim chat beserta fotoku di depan jersey bertuliskan
RVP.
Kamupun
membalas: “:)”.
Selain Old
Trafford, kami juga mengunjungi Stamford Bridge (Chelsea), Emirates Stadium
(Arsenal), White Hart Lane (Tottenham Hotspur), Etihad Stadium (Manchester
City), Anfield (Liverpool), dan Goodison Park (Everton). Aku yang tadinya tak
berminat terhadap sepakbola kini jadi antusias ingin mencari tahu lebih banyak
tentang olahraga populer di dunia ini. Setidaknya, saat nobar Piala Dunia
nanti, aku bisa menemanimu berteriak girang saat gawang lawan berhasil
diterjang.
Bagaimanapun
juga, yang paling berkesan bagiku di perjalanan ini adalah kunjungan ke tujuh
ikon Inggris. Kamu tahu betapa aku mendambakan tinggal di rumah yang berdesain
seperti kastil akibat overdosis film-film Princess sejak kecil. Dan kamu selalu
mengatakan “Ngapain sih desain rumah ribet amat. Di Jakarta nggak cocok tahu.
Gerah,” yang aku sambut dengan merengut.
Kini mataku
berkaca-kaca melihat istana megah di hadapanku, Buckingham Palace. Antara
terharu luar biasa karena berkesempatan mengunjungi tempat ini, dan
membayangkan kamu melamarku di sini.
Di antara
taman bunga yang cantik ini, kamu berlutut dengan satu kaki. Kegugupan yang
tertangkap dari gerak-gerikmu menambah indah kalimat “Will you marry me?”.
Akupun langsung mengangguk tanpa basa-basi, dan kamu memasangkan cincin di
jari…
… tapi
cincinnya tiba-tiba tak muat. Oh! Rupanya aku berkhayal lagi di siang hari.
Kali ini sambil memaksa memasukkan Smax Ring ke jari manisku sendiri.
Akupun
tersenyum getir menyadari imajinasiku yang seringkali terlalu tinggi. Salahkah
jika setelah lima tahun ini aku ingin bersamamu setiap hari, merasakan
kehangatan pelukmu sampai bangun pagi? Kamu tak perlu mengomel lagi saban kali
aku akan ke luar kota atau negeri, karena kita bisa selalu tinggal dalam kamar
yang sama, menciptakan bulan madu untuk kesekian kalinya.
Ah,
mengatakan ‘I love you’ saja kamu tak pernah.
*****
Dentang Big
Ben terdengar sampai Westminster Abbey, gereja berarsitektur gothic yang
menjulang tinggi dengan anggun sekaligus misterius. Di sinilah royal wedding
Pangeran William dan Kate Middleton digelar.
Dasar aku hopeless romantic, aku ingin kamu menjadi Will-ku dan aku menjadi Kate-mu.
Oke, royal wedding bagi kita memang tak mungkin. Tapi kalau prewedding bisa, ‘kan?
Lalu kita
akan menyeberangi Sungai Thames. Aku tersenyum setelah menyadari Smax Cippy
yang aku makan mirip bebek-bebek yang sedang berenang itu. Riak air yang mereka
timbulkan menghasilkan gelombang seperti Mister Potato Waavy yang ada di
genggamanmu.
Kemudian
kita sampai di London Eye. Trafalgar Square jadi terlihat seperti miniatur. Lalu,
tepat di ketinggian 120 meter seperti tanggal jadian kita, 20 Januari, kamu
mengecup bibirku lembut.
Layaknya
anak muda yang baru kasmaran, kita menelusuri Beatles Museum berpegangan tangan
sambil menyenandungkan 'I Want to Hold Your Hand'. Dan di platform 9 ¾ King’s
Cross Station, kita berpose mendorong troli menembus dinding, seperti turis
lainnya. Aku masih ingat, obrolan tentang Harry Potter-lah yang dulu mendekatkan
kamu dan aku.
*****
Ah, tujuh
hari yang menyenangkan. Kini saatnya kembali ke realita setelah kembali sulit
tidur di penerbangan belasan jam. Kantung mata ini bukanlah oleh-oleh yang
menyenangkan.
Kamu
menjemputku. Tapi ada yang beda dengan penampilanmu. Dihiasi senyum semringah
dan semprotan parfum wangi aqua yang selalu aku suka, kamu memelukku erat
sampai aku puas membauinya. Di perjalanan, aku antusias bercerita tentang
semuanya, termasuk bagaimana aku mengharapkan kehadiranmu di sana. Dan kamu
lagi-lagi hanya tersenyum.
Tiba-tiba
kamu mengarahkan mobil ke kafe langganan kita, tempat kamu pertama kali
menanyakan kesediaanku menjadi kekasihmu. Tempat ini juga yang selalu kita
kunjungi untuk merayakan setiap 20 Januari.
Aku berusaha
menghilangkan kantuk dengan secangkir cappuccino hangat. Ternyata Rio, barista
yang sudah kita kenal, mengantarkan kopiku sendiri ke meja. Tak seperti
biasanya.
“’C&D’
dengan gambar hati? Tumben kamu bikin latte art unyu begini,” kataku agak heran
saat akan menyeruput cappuccino. 'C&D' adalah inisial nama kita, Chita dan Dimas.
“Tanya
langsung aja Chit,” kata Rio sambil cengengesan pergi. Aku menatap bingung ke
kamu. ‘Kamu? Romantis? Ini bahkan bukan monthversary kita,’ kataku dalam hati.
“Aplikasi
beasiswaku diterima,” katamu tiba-tiba. “Enam bulan
lagi aku berangkat ke Inggris.”
Mataku
membesar seketika. Bibirku membentuk huruf O yang segera kututupi dengan kedua
tangan.
“Selamat
sayang! Kamu hebat!” kataku sambil menggenggam tanganmu. Kamu tersenyum bahagia
sambil mengucapkan terima kasih.
Sejenak aku
terlarut dalam euforia, sampai aku sadar bahwa berita ini juga membawa kabar
buruk di belakangnya. Perlahan, aku menarik tanganku dari genggamanmu.
“Kamu…
berapa tahun di sana?”
“Mungkin dua
tahun, tapi aku berencana cari pengalaman kerja juga di sana. Jadi, bisa saja
tiga tahun atau lebih…” jawabmu.
Membayangkan
terpisah darimu sedemikian lama memunculkan raut sedih yang tak bisa kututupi. Sebenarnya
aku tak boleh egois. Ini memang cita-citamu sejak dulu. Tapi… ini juga berarti
aku harus lebih lama menunggu.
Kamu
kemudian mengelus pipiku dan menarik kembali kedua tanganku untuk kamu genggam.
Perlahan-lahan, mataku tergenangi cairan. Terlalu banyak, sampai akhirnya
cairan tersebut meluber ke pipi dan menetes ke baju.
Kamu
langsung menyeret bangku ke sebelahku, menghapusi setiap tetes air mataku. Aku
menangis di pelukanmu. “Maaf… Aku egois…” kataku sambil melawan emosi. Namun
setiap aku berusaha, semakin deras air mata itu ingin keluar.
“Jangan
minta maaf. Aku yang minta maaf sampai bikin kamu nangis begini. Omonganku
belum selesai…” katamu sedikit panik.
Akupun
menarik diri dari dadamu dan menunggu lanjutan kata-katamu sambil menyeka
sisa-sisa air mata.
“Kamu tahu ‘kan,
aku nggak bisa jauh dari kamu,” ujarmu dengan sedikit jeda. “Jadi…”
Jantung ini
tiba-tiba berdegup kencang.
“Gimana
kalau huruf di cappuccino itu terpampang di… undangan kita?”
Telingaku
tampaknya masih tak sinkron dengan otak.
Tiba-tiba
kamu menyodorkan sebuah kotak beludru berwarna merah dan membukanya di
hadapanku. Sebuah cincin platina cantik bermata satu.
Kamu
berdehem. “Crystalia Abraham Dwiyatno, I’ve been loving you since the day I met
you. Maaf, mungkin selama ini aku sulit menjadi pria romantis seperti yang kamu
mau. Tapi tolong beri aku kesempatan.”
Setelah
mengeluarkan kata-kata yang tampak sangat terlatih itu, kamu melanjutkan: “So…
Will you be my bride?”
Kepalaku
tiba-tiba pusing. Pusing berusaha mencerna kata-kata yang tak kusangka tadi,
disusul pusing karena terlalu banyak menangis. Beberapa detik kemudian, aku menjawab.
“Pergi ke
Inggris memang mimpi besarku. Tapi ada mimpi yang lebih besar lagi. Kamu
tahu?” tanyaku retoris yang dibalas gelengan pelan olehmu. “Memakai nama
belakangmu.”
Wajah
gugupmu jadi cerah. “So… Can I take that as a yes?” tanyamu pura-pura. Aku
memukul tanganmu dengan bercanda.
Diiringi
derai tawa, tanpa banyak kata, sebenarnya kita berdua sudah tahu jawabannya.
Dan jari
manisku kini terganjal sebuah logam mulia yang memantulkan cahaya.
Kamu
mengecup cincin itu. “Terima kasih sayang. I love you so much. Tuhan baik
sekali memberiku dua kabar bahagia sekaligus,” kamu mengatakannya dengan senyum
yang tak lepas dan wajah yang merona.
“Jadi, nanti
kita jalan-jalan ke Beatles Museum berdua?” tanyaku. Kamu mengangguk.
“Dan ke
Westminster Abbey?”
Kamu
mengiyakan lagi. “Jangan lupa ke Old Trafford,” tambahmu.
“Punya rumah
bergaya kastil?” tanyaku penuh harap. Kamu memutar bola mata.
“Yah… Mudah-mudahan rezekiku banyak ya…” jawabmu akhirnya.
“Yah… Mudah-mudahan rezekiku banyak ya…” jawabmu akhirnya.
Akupun
mengecup keningmu lama. Kening pria yang akan segera aku curi nama belakangnya.
TAMAT
-----------------------------------------------------------------------------------------
Oleh: Fitria Rahmadianti
No comments:
Post a Comment
Pendapat Anda?