Berani berbuat, harus berani bertanggung jawab.
Berani kawin, ya berarti harus siap menanggung konsekuensi setelahnya, kayak hamil, melahirkan, dan seterusnya.
As I've shared to you before, I had a pretty enjoyable pregnancy. Soalnya enggak banyak keluhan (kecuali pas 'kaget' di awal trimester tiga) . Tapi masa' mau selamanya hamil? Kan harus diselesaikan dengan lahiran. Nah, sejujurnya saya takut menghadapi lahiran karena kata orang sakitnya luar biasa. Tapi, saya harus memberanikan diri biar rileks dan rasa sakitnya sedikit berkurang.
Hari perkiraan lahir (HPL) dari Dokter Dewi Rahajoe 5 Februari 2017. Tapi dia menyarankan kalau sampai tanggal 6-nya belum juga ada tanda-tanda lahiran, tanggal 7 jam 07:00 harus ke rumah sakit untuk diinduksi.
Ternyata sudah takdirnya saya harus diinduksi. Saya dan suami yang mengambil cuti pergi ke RS Hermina Daan Mogot sambil membawa tas perlengkapan lahiran dan dokumen-dokumen. Setelah ke bagian pendaftaran rawat inap dan menandatangani formulir ini itu, kami ke Nurse Station di lantai 3 untuk diantarkan seorang suster ke ruang bersalin di lantai 2.
Saya diajak ke salah satu kamar bersalin. Setelah disuruh buang air kecil dan mengganti pakaian dengan baju dari rumah sakit, tensi saya diukur, bidan mencukur ehem saya, kemudian ia mengukur detak jantung janin dan kontraksi dengan mesin CTG selama 30 menit. Setelah itu, dilakukan periksa dalam. Bidan bilang kontraksinya sudah teratur. Selang beberapa jam saya periksa dalam lagi, bidan bilang sudah pembukaan 1.
Ternyata ada cek darah. Orang dari lab mendatangi tempat tidur saya untuk mengambil sampel darah saya dari siku bagian dalam dan daun telinga. Berhubung saya tahu cek darah itu agak sakit, tadinya saya mau menunjukkan saja hasil tes lab saat hamil biar enggak usah cek darah lagi. Tapi enggak jadi hahaha...
Oh, iya, saya juga dipasangi 'kepala' infus agar bisa langsung pasang selang infus jika dibutuhkan. Tapi, prosesnya memakan waktu lama karena dokter mau pakai jarum infus besar, sedangkan pembuluh darah saya kecil. Akhirnya setelah ditusukkan ke pembuluh darah kanan dan tidak berhasil, bidan menggantinya dengan jarum yang lebih kecil yang sukses menancap di punggung tangan kiri.
Setelah cek darah, bidan memberikan obat perangsang buang air besar berupa cairan dalam botol yang dimasukkan lewat anus. Mujarab, dalam sekitar lima menit saya mulas dadakan dan hasilnya cair. Untung saja jarak ke toilet hanya beberapa langkah dan toilet sedang kosong. Kalau tidak, bahaya juga karena benar-benar sulit ditahan. :))
Karena dokter sudah menginstruksikan tindakan induksi, bidan memberikan obat induksi berupa tablet kecil yang dimasukkan ke vagina. Supaya obatnya bisa diserap, saya tidak boleh buang air kecil dulu selama setengah jam. Obat induksi ini fungsinya untuk merangsang mulas agar cepat terjadi persalinan.
Kami menunggu reaksi obat tersebut selama beberapa jam berikutnya. Ternyata sampai sore, pembukaan hanya bertambah jadi 1,5. Saya disuruh banyak jalan untuk merangsang bukaan. Dokter memerintahkan ke bidan untuk CTG dan periksa dalam setiap tiga jam. Malam harinya, pembukaan bertambah sedikit jadi 2 dan kontraksi bertambah.
Hari Kedua (8 Februari 2017)
Pagi ini, kontraksi berkurang walau ada flek bercampur darah (tanda persalinan). Pukul 06:30, bidan memberikan obat induksi kedua. Obat induksi ketiga dimasukkan pada pukul 13:00. Tapi, sampai magrib, bukaan hanya bertambah jadi 2,5.
Selama ini saya hanya memperhatikan bacaan kontraksi dari mesin CTG karena detak jantung si dedek selalu normal (120-160). Tapi, saat magrib itu, tidak biasanya detak jantungnya di ambang 120 dan grafiknya cenderung datar. Seharusnya ada grafik-grafik tajam ke atas yang menunjukkan si janin aktif. Saat dicek CTG, saya juga hampir tidak merasakan gerakan janin. Berbanding terbalik, grafik kontraksi justru padat dengan gunungan.
Menurut penjelasan bidan, saat terjadi kontraksi, janin seperti terhimpit. Kalau kontraksi terlalu sering, si dedek jadi tidak punya waktu cukup untuk rileks dan bernafas. Makanya detak jantungnya melemah dan gerakannya berkurang. Saya kemudian diberikan obat relaksasi yang dimasukkan lewat anus untuk mengurangi kontraksi. Saya juga diberikan tambahan oksigen lewat selang. Saya sempat menangis saat mendengar keadaan si dedek, khawatir dia kenapa-kenapa. Apalagi bidan sempat bilang air ketuban saya mulai berkurang. Alhamdulillah, di pemeriksaan CTG berikutnya, keadaan sudah kembali terkendali.
Hari Ketiga (9 Februari 2017)
Sepanjang hari ini bisa dibilang pembukaan stagnan di angka tiga. Padahal, pada pukul 12:00, bidan sudah memberikan obat induksi keempat. Mulaspun terasa jarang-jarang saja, padahal saya sudah berikhtiar dengan berjalan kaki, squat, sujud, berdoa... Sungguh, melahirkan normal itu memerlukan kesabaran ekstra saat menunggu bukaan dan saat merasakan mulas.
Saya tadinya berprinsip ingin memaksimalkan usaha untuk melahirkan normal, baru kalau sudah mentok, terpaksa caesar. Sedangkan suami saya sebaliknya, ia mulai mempertimbangkan caesar karena kasihan melihat saya harus menunggu lama. Namun, keadaan berbalik di hari ketiga ini. Saya mulai lose hope dan berpikir ingin langsung caesar saja karena masalah psikologis.
Bagaimana tidak? Tiga hari di RS, sudah diinduksi, tapi pembukaan berjalan dengan sangat lambat. Bosan sekali rasanya harus di-CTG lagi setiap tiga jam sekali, harus tetap awake dan terlentang selama 30 menit untuk menekan tombol hijau setiap si dedek bergerak.
CTG selalu diikuti dengan periksa dalam yang paling saya benci karena saya harus menatap langit-langit sambil menarik nafas panjang, menahan sakit saat jari-jari bidan meraba bukaan di dalam mulut rahim saya. Terkadang, karena pertambahan bukaan tidak signifikan, jari-jari bersarung karet yang kadang gendut dan tidak berlapis pelumas jelly tersebut(tergantung bidannya siapa) mengeksplor sampai ke dalam sekali, lama, dan membuat saya mulas banget. Nah, CTG dan periksa dalam dilakukan per tiga jam selama tiga hari full, hitung sendiri berapa kali saya diobok-obok. Dan setelah diobok-obok, bidan hampir selalu mengatakan "bukaannya masih sama".
Untuk merangsang pembukaan, saya harus banyak jalan. Masalahnya, secara peraturan, saya tidak boleh keluar dari ruang bersalin agar mudah terpantau kalau ada apa-apa. Iya, keliling rumah sakitpun tak boleh. Jadi, saya harus bolak-balik kayak setrikaan di lorong ruang bersalin yang suram dan membosankan itu. Penghiburan saya cuma saat diantarkan makanan dan snack.
Belum lagi, keluarga, saudara, dan teman setiap waktu menanyakan keadaan saya. "Sudah lahiran belum?", "Sekarang udah bukaan berapa?"dan sebagainya. Rasanya seperti ditanya "Kapan kawin?". Jujur, saya dan suami yang sudah capek karena menunggu pembukaan jadi makin lelah ditanyai terus. Bagaimanapun juga, kami bersyukur bahwa masih banyak orang yang peduli terhadap kami. Karena itu, saya dan suami berusaha sebisa mungkin meladeni pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk keluarga, teman, dan saudara yang rutin menanyakan kondisi saya, terima kasih banyak, ya. :) Mohon maaf dan harap maklum kalau jawaban saya dan suami tidak memuaskan. :D
Tapi suami justru meyakinkan saya yang mulai pesimis untuk kembali optimis bisa melahirkan secara normal. Soalnya, sebenarnya secara fisik, saya dan si dedek tidak ada masalah apa-apa. Saya sehat-sehat saja, tensi dan suhu tubuh baik, detak jantung janin normal dan iapun cukup aktif bergerak, kontraksi lumayan teratur, air ketubanpun masih bagus. Masalahnya hanya di pembukaan yang berjalan sangat lambat. Katanya, sih, wajar, karena bayinya besar (terakhir kontrol 3,5 kg) dan anak pertama. Intinya, semuanya baik-baik saja, hanya butuh konsistensi ikhtiar dan doa, stok kesabaran yang banyak, dan keyakinan.
Sebenarnya suami saya betul juga. Selama menjadi penghuni 'abadi' kamar bersalin yang ditempati dua orang ini, saya sering mencuri dengar kondisi penghuni tempat tidur sebelah yang silih berganti. Keadaan mereka seringkali lebih memprihatinkan. Beberapa pasien mengeluhkan mulas, pecah ketuban, atau pendarahan sebelum waktunya. Ada juga yang keguguran lalu ditemukan polip dan myom di kandungannya. Yang paling memilukan, seorang pasien seumur saya yang sudah menikah enam tahun pernah mengalami keguguran saat hamil pertama, kehamilan ektopik (luar rahim) di hamil kedua, dan ektopik lagi saat ke rumah sakit ini. Dia pernah dioperasi tapi lupa apakah di indung telurnya atau di tuba fallopi kiri atau kanan. Eh, dia diomelin sama dokter jaga. "Kalau ibu enggak tahu bagian mana yang udah dioperasi terus nanti salah operasi, bisa-bisa enggak bisa hamil lagi kau!" kata si dokter jaga pakai logat Batak. Kasihan, lagi stres malah diomelin. :(
Sementara, saya mudah menyerah 'hanya' gara-gara lelah menunggu, padahal semuanya baik-baik saja. Duh, Ema, kok kamu mudah goyah begini, sih. Kadang juga merasa menyesal kurang ngerem makan dan kurang olahraga saat hamil, jadi bayinya besar dan sulit mencari jalan keluar sendiri. Padahal, sebenarnya, sih, bayi besar bukan hanya karena banyak makan manis, karbo, dan lemak, tapi bisa juga karena si ibu ada riwayat diabetes (alhamdulillah negatif)atau orang tuanya besar-besar. Akhirnya saya memutuskan untuk menjalani dulu saja sambil pasrah.
Hari Keempat (10 Februari 2017)
Hari ini, pada CTG pukul 01:30, detak jantung si dedek kembali berada di batas 120. Saya dipasangi selang oksigen lagi, namun sampai CTG tiga jam berikutnya, detak jantung si bayi masih belum berubah. Kontraksipun lemah sampai-sampai bidan sengaja melewatkan satu kali periksa dalam karena kasihan melihat saya kesakitan saat diobok-obok padahal bukaan tidak bertambah.
Dan, ya, pada pemeriksaan pukul 04:30, bukaan tetap di angka tiga. Tapi, ada yang berbeda kali ini. Saat akan periksa dalam, bidan terlihat curiga. Selesai periksa, ia melihat sarung tangan karetnya yang basah dan menanyakan apakah saya merasa ada cairan keluar. Saya bilang ada lendir waktu membersihkan area V usai buang air kecil, which is normal. Tapi kemudian ia melakukan tes lakmus dengan cairan dari sarung tangan tersebut dan hasilnya kertas pink itu berubah jadi biru. Artinya, itu air ketuban.
Suami langsung membicarakan keputusan caesar dengan saya yang masih belum begitu alert karena tidak bisa tidur nyenyak semalam. Ia khawatir karena ketuban sudah pecah dan sudah tiga kali pemeriksaan jantung si dedek berdetak agak lemah.
Saya beristigfar. Pasalnya, sebelumnya saya sempat berharap induksinya tidak berefek saja agar langsung bisa diputuskan caesar, sebab ini sudah batas maksimal pemberian obat induksi (empat kali). Sebenarnya ada alternatif metode induksi lain, lewat infus, misalnya, kalau masih mau mencoba persalinan normal, selama air ketubannya masih bagus. Tapi, saya sudah lelah menunggu. Ternyata, harapan selintas itu dikabulkan meski dengan cara yang agak berbeda, yakni dengan detak jantung bayi yang agak melemah dan ketuban yang pecah. Saya juga sempat kepikiran "kayaknya bagus lahir tanggal 10 Februari 2017". Be careful of what you wish for, ya, guys.
Sekitar pukul 06:30, bidan melaporkan hasil konsultasi terkait kondisi saya dengan dokter Dewi. Dokter memberikan dua pilihan: langsung caesar dengan jadwal pukul 10:00 atau tunggu observasi (CTG dan periksa dalam lagi per tiga jam) dan kalau masih belum ada perkembangan sampai pukul 10:00, caesar dijadwalkan sekitar pukul 11:00 atau 12:00. Berhubung bukaan masih 3 saja dari kemarin (masih jauuuh dari angka 10), saya putuskan langsung caesar saja, meski jatuhnya jadi caesar dengan permintaan pribadi, bukan karena keputusan dokter atas kondisi medis pasien.
Kalau ditanya apakah saya menyesal harus induksi dulu padahal ujung-ujungnya caesar juga, jawaban saya: tidak. Sebab, saya jadi punya pengalaman induksi yang bisa saya ceritakan ke orang-orang, dan sepertinya saya mencatat 'sejarah' di rumah sakit tersebut sebagai orang terlama yang menempati ruang bersalin dan gagal setelah empat kali diberi obat induksi. Saya jadi 'terkenal' di kalangan bidan, dokter, bahkan cleaning service dengan kalimat "Oh, yang gagal induksi itu ya?" dan "Saya kira sudah lahiran, Bu". :))
Beberapa jam kemudian, saya diberi antibiotik lewat lubang infus untuk mencegah si dedek terinfeksi kuman dari luar karena ketuban yang melindunginya sudah pecah. Sebelum antibiotik diberikan, bidan melakukan skin test dulu untuk melihat apakah ada reaksi alergi, dan alhamdulillah tidak.
Operasi saya dijadwalkan pukul 10:00, paling lambat pukul 12:00. Jadi, saya puasa sejak pukul 05:30. Selama menunggu, saya diminta mengganti pakaian dengan baju operasi yang berwarna hijau itu, dua kali diukur tensi, dan detak jantung si dedek diperdengarkan dengan alat semacam radio. Dokter Dewi sebenarnya sudah datang sejak sekitar pukul 09:30,tapi dia membantu persalinan normal di kamar sebelah dulu. Btw, saya kira persalinan normal pasti heboh dengan suara kesakitan ibu yang mau melahirkan. Tapi ternyata enggak juga ya, lebih heboh dokter dan bidannya memberikan instruksi.
Operasi mundur sampai pukul 13:00 karena si dokter anak solat Jumat dulu. Saya pindah ke tempat tidur dorong, lalu dibawa menembus pintu-pintu menuju ruang operasi. Wow, seperti di film-film! Norak, maklum ini operasi pertama dalam hidup saya. Jujur, saya takut (kalau ada suami biasanya saya jadi cengeng), tapi saya berusaha menghilangkan perasaan tersebut karena saya ingin operasi berjalan lancar.
Ruang operasinya luas dengan lampu besar menaungi sebuah 'meja' operasi tempat pasien berbaring di bawahnya. Saya diminta pelan-pelan pindah dari tempat tidur dorong ke meja tersebut. Saya kira kalau operasi caesar cukup bagian perut yang dibuka bajunya, ternyata semuanya. -_-'
Saat duduk di meja operasi, dokter anestesi bilang kalau saya akan dibius lokal, bukan bius total. Sebab, bius total bisa membuat si dedek terbius juga. Lagipula, bius lokal membuat saya bisa langsung melihat si dedek setelah lahir nanti.
Jadi, nanti yang akan mati rasa adalah bagian perut sampai kaki, sedangkan dada ke atas masih bisa digerakkan. Wew, saya membayangkan saya bisa melihat perut saya dibelek. Jadi saya sudah berniat akan memejamkan mata saja selama operasi.
Dokter lalu menyuntik tulang punggung bagian agak bawah dengan cairan bius. Tidak lama, ada sensasi hangat menjalar dari perut ke kaki. Saat dokter meminta saya mengangkat kaki kanan, otak seperti disconnected dengan tubuh bagian bawah sehingga saya tidak bisa menggerakkannya meski sudah berusaha berkonsentrasi. Kata dokter, tandanya obat biusnya sudah bekerja.
Tangan sebelah kiri saya ditancapi infus (yang ternyata macet), sedangkan tangan kanan dipasangi tensi otomatis. Dada saya ditempeli alat pengukur detak jantung yang kayak di film-film itu.
Ternyata saya lebay. Ada, kok, besi perpenutup kain yang dipasang di bawah dada sebagai penghalang pandangan saya dari tindakan operasi yang sedang berlangsung. Sebenarnya, kalau Anda jagoan, Anda bisa melihat pantulan kegiatan operasi dari lampu besar di atas Anda. Tapi saya memilih merem daripada trauma.
Sekitar tujuh orang petugas medis yang menangani saya bekerja cekatan tapi santai. Maksudnya, suasana tidak tegang seperti yang saya kira. Mereka saling mengobrol seperti biasa dengan backsound lagu Top 40 dari pemutar musik di luar kamar operasi.
Saat memejamkan mata sambil menyugesti diri agar rileks dengan membaca doa, saya merasa seperti sedang dimobilisasi lagi karena perut saya bergoyang-goyang. Ealah... Ternyata perut saya sedang diobok-obok itu, bukan saya sedang dimobilisasi.
Tidak lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi. "Hah, itu anak saya?" tanya saya dalam hati karena tidak percaya prosesnya akan berlangsung secepat itu. Ternyata betul. Lewat pantulan di langit-langit ruang operasi, saya bisa melihat bayi saya diangkat oleh dokter dan dipindahkan ke meja observasi bayi. "Bu, anaknya laki-laki ya," kata dokter sambil dengan cepat membersihkan dan memotong tali pusar bayi bersama satu petugas medis lagi.
Alhamdulillah... Air mata langsung mengalir mensyukuri bahwa bayi yang sudah ditunggu-tunggu kelahirannya selama 41 minggu ini akhirnya muncul juga ke dunia. Saya seperti tak percaya kalau makhluk mungil bernyawa ini berasal dari perut saya. Dia yang selama ini membuat saya tersenyum dengan tendangan dan gerakannya yang membuat permukaan perut saya yang buncit bergerak-gerak. Dia yang selama ini membuat saya menebak-nebak apakah wajahnya mirip saya atau ayahnya setiap kali USG.
Selesai dibersihkan, seorang petugas medis membawa si kecil ke saya untuk skin contact pertama kali. Diiringi ucapan "Selamat ya Bu" dari petugas medis lainnya, saya mencium pipi halus dan hangat sang bayi sambil berurai air mata. Bibirnya yang kecil lalu ditempelkan ke puting saya sebagai langkah inisiasi menyusui dini (IMD) walau sebentar saja karena ia harus dibawa ke ruang observasi untuk dicek kondisinya secara menyeluruh. Saya masih sesenggukan saat dokter menyelesaikan operasi dan menjahit luka bedah.
Operasi selesai sekitar pukul 14:00, namun saya baru bisa bertemu lagi dengan anak saya di malam harinya, sekitar pukul 21:30. Akhirnya saya dapat melihat fisiknya dengan jelas. Kulitnya putih bersih, hidungnya mirip ayahnya tapi sisanya sepertinya mirip saya hehehe...
Saat belajar menyusui, saya bisa melihat wajahnya dari jarak yang sangat dekat. Betapa menggemaskannya saat lidahnya melet-melet tanda ingin menyusu. Bibir mungilnya mangap-mangap tidak sabaran saat akan ditempelkan ke puting. Jika perlekatan mulutnya dengan puting pas, dia akan menyedot dengan kuat meski ASI belum keluar. Seringkali saya kesakitan dibuatnya, tapi saat melihat matanya sesekali memandang ke arah saya, saya merasa damai. Ah, anakku sayang...
Alhamdulillah hasil pemeriksaan kondisi saya dan si kecil semua baik-baik saja. Saya bisa pulang sore ini (Minggu, 12 Februari 2017). Beberapa teman dan saudara sudah menjenguk dan berbagi kebahagiaan dengan kami. Terima kasih ya semuanya... :)
Jadi, ini buah hati saya dan suami:
Nama: Raihan Yusuf Wirantama (Raihan)
Arti nama: Lelaki tampan dan soleh yang wangi surgawi, putra Dwiki Riwanto dan Fitria Rahmadianti
Hari dan waktu lahir: Jumat, 10 Februari 2017 pukul 13:39
Berat badan: 3.590 gram
Panjang badan: 51 cm
Selamat datang di dunia, anakku sayang. Bunda doakan Raihan jadi anak yang soleh dan sehat. Semoga ayah dan bunda bisa jadi orang tua yang baik untukmu, ya, Nak. :)
*PS: Special thanks untuk cuamik atas kesabaran, support, dan selalu ada di samping saya selama ini. Kisseu dari bunda dan Raihan! :*
Berani kawin, ya berarti harus siap menanggung konsekuensi setelahnya, kayak hamil, melahirkan, dan seterusnya.
As I've shared to you before, I had a pretty enjoyable pregnancy. Soalnya enggak banyak keluhan (kecuali pas 'kaget' di awal trimester tiga) . Tapi masa' mau selamanya hamil? Kan harus diselesaikan dengan lahiran. Nah, sejujurnya saya takut menghadapi lahiran karena kata orang sakitnya luar biasa. Tapi, saya harus memberanikan diri biar rileks dan rasa sakitnya sedikit berkurang.
Hari perkiraan lahir (HPL) dari Dokter Dewi Rahajoe 5 Februari 2017. Tapi dia menyarankan kalau sampai tanggal 6-nya belum juga ada tanda-tanda lahiran, tanggal 7 jam 07:00 harus ke rumah sakit untuk diinduksi.
Ternyata sudah takdirnya saya harus diinduksi. Saya dan suami yang mengambil cuti pergi ke RS Hermina Daan Mogot sambil membawa tas perlengkapan lahiran dan dokumen-dokumen. Setelah ke bagian pendaftaran rawat inap dan menandatangani formulir ini itu, kami ke Nurse Station di lantai 3 untuk diantarkan seorang suster ke ruang bersalin di lantai 2.
Saya diajak ke salah satu kamar bersalin. Setelah disuruh buang air kecil dan mengganti pakaian dengan baju dari rumah sakit, tensi saya diukur, bidan mencukur ehem saya, kemudian ia mengukur detak jantung janin dan kontraksi dengan mesin CTG selama 30 menit. Setelah itu, dilakukan periksa dalam. Bidan bilang kontraksinya sudah teratur. Selang beberapa jam saya periksa dalam lagi, bidan bilang sudah pembukaan 1.
Ternyata ada cek darah. Orang dari lab mendatangi tempat tidur saya untuk mengambil sampel darah saya dari siku bagian dalam dan daun telinga. Berhubung saya tahu cek darah itu agak sakit, tadinya saya mau menunjukkan saja hasil tes lab saat hamil biar enggak usah cek darah lagi. Tapi enggak jadi hahaha...
Oh, iya, saya juga dipasangi 'kepala' infus agar bisa langsung pasang selang infus jika dibutuhkan. Tapi, prosesnya memakan waktu lama karena dokter mau pakai jarum infus besar, sedangkan pembuluh darah saya kecil. Akhirnya setelah ditusukkan ke pembuluh darah kanan dan tidak berhasil, bidan menggantinya dengan jarum yang lebih kecil yang sukses menancap di punggung tangan kiri.
Setelah cek darah, bidan memberikan obat perangsang buang air besar berupa cairan dalam botol yang dimasukkan lewat anus. Mujarab, dalam sekitar lima menit saya mulas dadakan dan hasilnya cair. Untung saja jarak ke toilet hanya beberapa langkah dan toilet sedang kosong. Kalau tidak, bahaya juga karena benar-benar sulit ditahan. :))
Karena dokter sudah menginstruksikan tindakan induksi, bidan memberikan obat induksi berupa tablet kecil yang dimasukkan ke vagina. Supaya obatnya bisa diserap, saya tidak boleh buang air kecil dulu selama setengah jam. Obat induksi ini fungsinya untuk merangsang mulas agar cepat terjadi persalinan.
Kami menunggu reaksi obat tersebut selama beberapa jam berikutnya. Ternyata sampai sore, pembukaan hanya bertambah jadi 1,5. Saya disuruh banyak jalan untuk merangsang bukaan. Dokter memerintahkan ke bidan untuk CTG dan periksa dalam setiap tiga jam. Malam harinya, pembukaan bertambah sedikit jadi 2 dan kontraksi bertambah.
Hari Kedua (8 Februari 2017)
Pagi ini, kontraksi berkurang walau ada flek bercampur darah (tanda persalinan). Pukul 06:30, bidan memberikan obat induksi kedua. Obat induksi ketiga dimasukkan pada pukul 13:00. Tapi, sampai magrib, bukaan hanya bertambah jadi 2,5.
Selama ini saya hanya memperhatikan bacaan kontraksi dari mesin CTG karena detak jantung si dedek selalu normal (120-160). Tapi, saat magrib itu, tidak biasanya detak jantungnya di ambang 120 dan grafiknya cenderung datar. Seharusnya ada grafik-grafik tajam ke atas yang menunjukkan si janin aktif. Saat dicek CTG, saya juga hampir tidak merasakan gerakan janin. Berbanding terbalik, grafik kontraksi justru padat dengan gunungan.
Menurut penjelasan bidan, saat terjadi kontraksi, janin seperti terhimpit. Kalau kontraksi terlalu sering, si dedek jadi tidak punya waktu cukup untuk rileks dan bernafas. Makanya detak jantungnya melemah dan gerakannya berkurang. Saya kemudian diberikan obat relaksasi yang dimasukkan lewat anus untuk mengurangi kontraksi. Saya juga diberikan tambahan oksigen lewat selang. Saya sempat menangis saat mendengar keadaan si dedek, khawatir dia kenapa-kenapa. Apalagi bidan sempat bilang air ketuban saya mulai berkurang. Alhamdulillah, di pemeriksaan CTG berikutnya, keadaan sudah kembali terkendali.
Hari Ketiga (9 Februari 2017)
Sepanjang hari ini bisa dibilang pembukaan stagnan di angka tiga. Padahal, pada pukul 12:00, bidan sudah memberikan obat induksi keempat. Mulaspun terasa jarang-jarang saja, padahal saya sudah berikhtiar dengan berjalan kaki, squat, sujud, berdoa... Sungguh, melahirkan normal itu memerlukan kesabaran ekstra saat menunggu bukaan dan saat merasakan mulas.
Saya tadinya berprinsip ingin memaksimalkan usaha untuk melahirkan normal, baru kalau sudah mentok, terpaksa caesar. Sedangkan suami saya sebaliknya, ia mulai mempertimbangkan caesar karena kasihan melihat saya harus menunggu lama. Namun, keadaan berbalik di hari ketiga ini. Saya mulai lose hope dan berpikir ingin langsung caesar saja karena masalah psikologis.
Bagaimana tidak? Tiga hari di RS, sudah diinduksi, tapi pembukaan berjalan dengan sangat lambat. Bosan sekali rasanya harus di-CTG lagi setiap tiga jam sekali, harus tetap awake dan terlentang selama 30 menit untuk menekan tombol hijau setiap si dedek bergerak.
CTG selalu diikuti dengan periksa dalam yang paling saya benci karena saya harus menatap langit-langit sambil menarik nafas panjang, menahan sakit saat jari-jari bidan meraba bukaan di dalam mulut rahim saya. Terkadang, karena pertambahan bukaan tidak signifikan, jari-jari bersarung karet yang kadang gendut dan tidak berlapis pelumas jelly tersebut(tergantung bidannya siapa) mengeksplor sampai ke dalam sekali, lama, dan membuat saya mulas banget. Nah, CTG dan periksa dalam dilakukan per tiga jam selama tiga hari full, hitung sendiri berapa kali saya diobok-obok. Dan setelah diobok-obok, bidan hampir selalu mengatakan "bukaannya masih sama".
Untuk merangsang pembukaan, saya harus banyak jalan. Masalahnya, secara peraturan, saya tidak boleh keluar dari ruang bersalin agar mudah terpantau kalau ada apa-apa. Iya, keliling rumah sakitpun tak boleh. Jadi, saya harus bolak-balik kayak setrikaan di lorong ruang bersalin yang suram dan membosankan itu. Penghiburan saya cuma saat diantarkan makanan dan snack.
Belum lagi, keluarga, saudara, dan teman setiap waktu menanyakan keadaan saya. "Sudah lahiran belum?", "Sekarang udah bukaan berapa?"dan sebagainya. Rasanya seperti ditanya "Kapan kawin?". Jujur, saya dan suami yang sudah capek karena menunggu pembukaan jadi makin lelah ditanyai terus. Bagaimanapun juga, kami bersyukur bahwa masih banyak orang yang peduli terhadap kami. Karena itu, saya dan suami berusaha sebisa mungkin meladeni pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk keluarga, teman, dan saudara yang rutin menanyakan kondisi saya, terima kasih banyak, ya. :) Mohon maaf dan harap maklum kalau jawaban saya dan suami tidak memuaskan. :D
Tapi suami justru meyakinkan saya yang mulai pesimis untuk kembali optimis bisa melahirkan secara normal. Soalnya, sebenarnya secara fisik, saya dan si dedek tidak ada masalah apa-apa. Saya sehat-sehat saja, tensi dan suhu tubuh baik, detak jantung janin normal dan iapun cukup aktif bergerak, kontraksi lumayan teratur, air ketubanpun masih bagus. Masalahnya hanya di pembukaan yang berjalan sangat lambat. Katanya, sih, wajar, karena bayinya besar (terakhir kontrol 3,5 kg) dan anak pertama. Intinya, semuanya baik-baik saja, hanya butuh konsistensi ikhtiar dan doa, stok kesabaran yang banyak, dan keyakinan.
Sebenarnya suami saya betul juga. Selama menjadi penghuni 'abadi' kamar bersalin yang ditempati dua orang ini, saya sering mencuri dengar kondisi penghuni tempat tidur sebelah yang silih berganti. Keadaan mereka seringkali lebih memprihatinkan. Beberapa pasien mengeluhkan mulas, pecah ketuban, atau pendarahan sebelum waktunya. Ada juga yang keguguran lalu ditemukan polip dan myom di kandungannya. Yang paling memilukan, seorang pasien seumur saya yang sudah menikah enam tahun pernah mengalami keguguran saat hamil pertama, kehamilan ektopik (luar rahim) di hamil kedua, dan ektopik lagi saat ke rumah sakit ini. Dia pernah dioperasi tapi lupa apakah di indung telurnya atau di tuba fallopi kiri atau kanan. Eh, dia diomelin sama dokter jaga. "Kalau ibu enggak tahu bagian mana yang udah dioperasi terus nanti salah operasi, bisa-bisa enggak bisa hamil lagi kau!" kata si dokter jaga pakai logat Batak. Kasihan, lagi stres malah diomelin. :(
Sementara, saya mudah menyerah 'hanya' gara-gara lelah menunggu, padahal semuanya baik-baik saja. Duh, Ema, kok kamu mudah goyah begini, sih. Kadang juga merasa menyesal kurang ngerem makan dan kurang olahraga saat hamil, jadi bayinya besar dan sulit mencari jalan keluar sendiri. Padahal, sebenarnya, sih, bayi besar bukan hanya karena banyak makan manis, karbo, dan lemak, tapi bisa juga karena si ibu ada riwayat diabetes (alhamdulillah negatif)atau orang tuanya besar-besar. Akhirnya saya memutuskan untuk menjalani dulu saja sambil pasrah.
Hari Keempat (10 Februari 2017)
Hari ini, pada CTG pukul 01:30, detak jantung si dedek kembali berada di batas 120. Saya dipasangi selang oksigen lagi, namun sampai CTG tiga jam berikutnya, detak jantung si bayi masih belum berubah. Kontraksipun lemah sampai-sampai bidan sengaja melewatkan satu kali periksa dalam karena kasihan melihat saya kesakitan saat diobok-obok padahal bukaan tidak bertambah.
Dan, ya, pada pemeriksaan pukul 04:30, bukaan tetap di angka tiga. Tapi, ada yang berbeda kali ini. Saat akan periksa dalam, bidan terlihat curiga. Selesai periksa, ia melihat sarung tangan karetnya yang basah dan menanyakan apakah saya merasa ada cairan keluar. Saya bilang ada lendir waktu membersihkan area V usai buang air kecil, which is normal. Tapi kemudian ia melakukan tes lakmus dengan cairan dari sarung tangan tersebut dan hasilnya kertas pink itu berubah jadi biru. Artinya, itu air ketuban.
Suami langsung membicarakan keputusan caesar dengan saya yang masih belum begitu alert karena tidak bisa tidur nyenyak semalam. Ia khawatir karena ketuban sudah pecah dan sudah tiga kali pemeriksaan jantung si dedek berdetak agak lemah.
Saya beristigfar. Pasalnya, sebelumnya saya sempat berharap induksinya tidak berefek saja agar langsung bisa diputuskan caesar, sebab ini sudah batas maksimal pemberian obat induksi (empat kali). Sebenarnya ada alternatif metode induksi lain, lewat infus, misalnya, kalau masih mau mencoba persalinan normal, selama air ketubannya masih bagus. Tapi, saya sudah lelah menunggu. Ternyata, harapan selintas itu dikabulkan meski dengan cara yang agak berbeda, yakni dengan detak jantung bayi yang agak melemah dan ketuban yang pecah. Saya juga sempat kepikiran "kayaknya bagus lahir tanggal 10 Februari 2017". Be careful of what you wish for, ya, guys.
Sekitar pukul 06:30, bidan melaporkan hasil konsultasi terkait kondisi saya dengan dokter Dewi. Dokter memberikan dua pilihan: langsung caesar dengan jadwal pukul 10:00 atau tunggu observasi (CTG dan periksa dalam lagi per tiga jam) dan kalau masih belum ada perkembangan sampai pukul 10:00, caesar dijadwalkan sekitar pukul 11:00 atau 12:00. Berhubung bukaan masih 3 saja dari kemarin (masih jauuuh dari angka 10), saya putuskan langsung caesar saja, meski jatuhnya jadi caesar dengan permintaan pribadi, bukan karena keputusan dokter atas kondisi medis pasien.
Kalau ditanya apakah saya menyesal harus induksi dulu padahal ujung-ujungnya caesar juga, jawaban saya: tidak. Sebab, saya jadi punya pengalaman induksi yang bisa saya ceritakan ke orang-orang, dan sepertinya saya mencatat 'sejarah' di rumah sakit tersebut sebagai orang terlama yang menempati ruang bersalin dan gagal setelah empat kali diberi obat induksi. Saya jadi 'terkenal' di kalangan bidan, dokter, bahkan cleaning service dengan kalimat "Oh, yang gagal induksi itu ya?" dan "Saya kira sudah lahiran, Bu". :))
Beberapa jam kemudian, saya diberi antibiotik lewat lubang infus untuk mencegah si dedek terinfeksi kuman dari luar karena ketuban yang melindunginya sudah pecah. Sebelum antibiotik diberikan, bidan melakukan skin test dulu untuk melihat apakah ada reaksi alergi, dan alhamdulillah tidak.
Operasi saya dijadwalkan pukul 10:00, paling lambat pukul 12:00. Jadi, saya puasa sejak pukul 05:30. Selama menunggu, saya diminta mengganti pakaian dengan baju operasi yang berwarna hijau itu, dua kali diukur tensi, dan detak jantung si dedek diperdengarkan dengan alat semacam radio. Dokter Dewi sebenarnya sudah datang sejak sekitar pukul 09:30,tapi dia membantu persalinan normal di kamar sebelah dulu. Btw, saya kira persalinan normal pasti heboh dengan suara kesakitan ibu yang mau melahirkan. Tapi ternyata enggak juga ya, lebih heboh dokter dan bidannya memberikan instruksi.
Operasi mundur sampai pukul 13:00 karena si dokter anak solat Jumat dulu. Saya pindah ke tempat tidur dorong, lalu dibawa menembus pintu-pintu menuju ruang operasi. Wow, seperti di film-film! Norak, maklum ini operasi pertama dalam hidup saya. Jujur, saya takut (kalau ada suami biasanya saya jadi cengeng), tapi saya berusaha menghilangkan perasaan tersebut karena saya ingin operasi berjalan lancar.
Ruang operasinya luas dengan lampu besar menaungi sebuah 'meja' operasi tempat pasien berbaring di bawahnya. Saya diminta pelan-pelan pindah dari tempat tidur dorong ke meja tersebut. Saya kira kalau operasi caesar cukup bagian perut yang dibuka bajunya, ternyata semuanya. -_-'
Saat duduk di meja operasi, dokter anestesi bilang kalau saya akan dibius lokal, bukan bius total. Sebab, bius total bisa membuat si dedek terbius juga. Lagipula, bius lokal membuat saya bisa langsung melihat si dedek setelah lahir nanti.
Jadi, nanti yang akan mati rasa adalah bagian perut sampai kaki, sedangkan dada ke atas masih bisa digerakkan. Wew, saya membayangkan saya bisa melihat perut saya dibelek. Jadi saya sudah berniat akan memejamkan mata saja selama operasi.
Dokter lalu menyuntik tulang punggung bagian agak bawah dengan cairan bius. Tidak lama, ada sensasi hangat menjalar dari perut ke kaki. Saat dokter meminta saya mengangkat kaki kanan, otak seperti disconnected dengan tubuh bagian bawah sehingga saya tidak bisa menggerakkannya meski sudah berusaha berkonsentrasi. Kata dokter, tandanya obat biusnya sudah bekerja.
Tangan sebelah kiri saya ditancapi infus (yang ternyata macet), sedangkan tangan kanan dipasangi tensi otomatis. Dada saya ditempeli alat pengukur detak jantung yang kayak di film-film itu.
Ternyata saya lebay. Ada, kok, besi perpenutup kain yang dipasang di bawah dada sebagai penghalang pandangan saya dari tindakan operasi yang sedang berlangsung. Sebenarnya, kalau Anda jagoan, Anda bisa melihat pantulan kegiatan operasi dari lampu besar di atas Anda. Tapi saya memilih merem daripada trauma.
Sekitar tujuh orang petugas medis yang menangani saya bekerja cekatan tapi santai. Maksudnya, suasana tidak tegang seperti yang saya kira. Mereka saling mengobrol seperti biasa dengan backsound lagu Top 40 dari pemutar musik di luar kamar operasi.
Saat memejamkan mata sambil menyugesti diri agar rileks dengan membaca doa, saya merasa seperti sedang dimobilisasi lagi karena perut saya bergoyang-goyang. Ealah... Ternyata perut saya sedang diobok-obok itu, bukan saya sedang dimobilisasi.
Tidak lama kemudian, terdengar suara tangisan bayi. "Hah, itu anak saya?" tanya saya dalam hati karena tidak percaya prosesnya akan berlangsung secepat itu. Ternyata betul. Lewat pantulan di langit-langit ruang operasi, saya bisa melihat bayi saya diangkat oleh dokter dan dipindahkan ke meja observasi bayi. "Bu, anaknya laki-laki ya," kata dokter sambil dengan cepat membersihkan dan memotong tali pusar bayi bersama satu petugas medis lagi.
Alhamdulillah... Air mata langsung mengalir mensyukuri bahwa bayi yang sudah ditunggu-tunggu kelahirannya selama 41 minggu ini akhirnya muncul juga ke dunia. Saya seperti tak percaya kalau makhluk mungil bernyawa ini berasal dari perut saya. Dia yang selama ini membuat saya tersenyum dengan tendangan dan gerakannya yang membuat permukaan perut saya yang buncit bergerak-gerak. Dia yang selama ini membuat saya menebak-nebak apakah wajahnya mirip saya atau ayahnya setiap kali USG.
Selesai dibersihkan, seorang petugas medis membawa si kecil ke saya untuk skin contact pertama kali. Diiringi ucapan "Selamat ya Bu" dari petugas medis lainnya, saya mencium pipi halus dan hangat sang bayi sambil berurai air mata. Bibirnya yang kecil lalu ditempelkan ke puting saya sebagai langkah inisiasi menyusui dini (IMD) walau sebentar saja karena ia harus dibawa ke ruang observasi untuk dicek kondisinya secara menyeluruh. Saya masih sesenggukan saat dokter menyelesaikan operasi dan menjahit luka bedah.
Operasi selesai sekitar pukul 14:00, namun saya baru bisa bertemu lagi dengan anak saya di malam harinya, sekitar pukul 21:30. Akhirnya saya dapat melihat fisiknya dengan jelas. Kulitnya putih bersih, hidungnya mirip ayahnya tapi sisanya sepertinya mirip saya hehehe...
Saat belajar menyusui, saya bisa melihat wajahnya dari jarak yang sangat dekat. Betapa menggemaskannya saat lidahnya melet-melet tanda ingin menyusu. Bibir mungilnya mangap-mangap tidak sabaran saat akan ditempelkan ke puting. Jika perlekatan mulutnya dengan puting pas, dia akan menyedot dengan kuat meski ASI belum keluar. Seringkali saya kesakitan dibuatnya, tapi saat melihat matanya sesekali memandang ke arah saya, saya merasa damai. Ah, anakku sayang...
Alhamdulillah hasil pemeriksaan kondisi saya dan si kecil semua baik-baik saja. Saya bisa pulang sore ini (Minggu, 12 Februari 2017). Beberapa teman dan saudara sudah menjenguk dan berbagi kebahagiaan dengan kami. Terima kasih ya semuanya... :)
Jadi, ini buah hati saya dan suami:
Nama: Raihan Yusuf Wirantama (Raihan)
Arti nama: Lelaki tampan dan soleh yang wangi surgawi, putra Dwiki Riwanto dan Fitria Rahmadianti
Hari dan waktu lahir: Jumat, 10 Februari 2017 pukul 13:39
Berat badan: 3.590 gram
Panjang badan: 51 cm
Selamat datang di dunia, anakku sayang. Bunda doakan Raihan jadi anak yang soleh dan sehat. Semoga ayah dan bunda bisa jadi orang tua yang baik untukmu, ya, Nak. :)
*PS: Special thanks untuk cuamik atas kesabaran, support, dan selalu ada di samping saya selama ini. Kisseu dari bunda dan Raihan! :*
Luar biasa, ibu hebat. Terima kasih sharingnya..kondisi yang kurang lebih sama saya alami. Menunggu kelahiran selama proses induksi. Pilihan antara cesar atau bertahan
ReplyDeleteAkhirnya pilih caesar juga Mom?
DeleteWonder mommy, masya Allah.. makasih sharenya, krn saya saya pun sedang menuju ke arah induksi di 41w.. dan sharinganny menguatkan saya..
ReplyDeleteWah senang sekali Mom kalau tulisan saya bisa membantu. Semoga proses lahirannya lancar ya Mom. :)
DeleteThanks atas sharingnya. Oiya, ngomongin biaya persalinan, tau ga sih temen-temen kalo ternyata tuh ada cara tepat untuk mempersiapkannya. Temen-temen bisa cek rahasianya di sini: cara kumpulkan biaya persalinan
ReplyDeleteBerapa lama pasca penyembuhannya bun? Saya jg induksi berakhir secar..
ReplyDeleteAlhamdulillah saya besoknya setelah pulang dari RS udah bisa naik turun tangga walau pelan-pelan. Cepat sih sembuhnya.
Delete