Turun dari ojek, saya buru-buru masuk ke sebuah bangunan berlantai satu. Saat itu saya telat masuk untuk les Bahasa Prancis karena harus menyelesaikan pekerjaan dulu di kantor.
"Bonsoir (selamat malam)!" sapa saya sambil membuka pintu ruangan les. Le professeur (sang guru), Monsieur Iwan, menjawab dengan mengulangi ucapan saya sambil mempersilakan duduk. Tapi saat itu teman-teman saya sepertinya sedang rajin, hampir semuanya masuk. Saya kebingungan mencari tempat duduk.
"Di sini aja," kata Dwiki, anak baru di kelas saya, sambil mengangkat tasnya dari bangku kosong di sebelahnya. Dalam hati, saya agak deg-degan. Sebab, sejak awal masuk, laki-laki ini memang sudah menarik perhatian saya. Tapi saya berusaha stay calm saat duduk di sebelahnya.
Pelajaran dilanjutkan. Saya mengubek-ubek tas dan baru sadar kalau buku Version Originale saya ketinggalan. "Yah, enggak bawa buku," keluh saya. Dwikipun langsung menawarkan memakai bukunya bersama. "Barengan aja," katanya sembari menggeser bukunya ke tengah.
Di akhir kelas, Dwiki meminta nomor handphone saya untuk dicatat. Saya juga meminta nomornya untuk keperluan membuat grup WhatsApp kelas les ini.
---
Di kelas Prancis berikutnya.
Selesai kelas, saya dan teman-teman biasanya tidak langsung pulang, melainkan mengobrol sebentar di teras tempat kursus.
"Lo dulu kuliah di mana, Wik?" tanya saya ke Dwiki. Obrolan kami memang masih seputar basa-basi karena dia anak baru di kelas saya.
"Di Bintaro. Lo?" kata Dwiki.
"UI. Di Bintaro kampus apa?" saya tanya lagi.
"STAN."
"Wah, kenal Genti nggak?" saya menanyakan teman SMA saya yang kuliah di sana.
"Kenal banget. Temen sekosan gue. Lo kenal dari mana?"
"Dia temen SMA gue. Hahaha... Kenal Ade Sonny juga nggak?"
Berawal dari mutual friend, obrolan kami berlanjut meski masih dalam tahap permukaan.
---
Selesai pertemuan les selanjutnya, saya dan teman-teman kembali mengobrol sebentar di teras. Kali ini saya berbagi cerita tentang info yang saya dapat di media sosial, bahwa saat pemutaran film The Conjuring di Singapura, ada standing banner yang berisi peringatan akan efek setelah menonton The Conjuring. Teman-teman saya menanggapi dengan antusias.
Beberapa hari kemudian, Dwiki me-WhatsApp saya, mengajak ngobrol soal The Conjuring. Saya menanggapi seperti biasa, selayaknya teman les. Tapi saya menangkap bahwa dia selalu menjaga agar obrolan tetap mengalir dengan menanyakan sesuatu di akhir balasan chat-nya.
Sejak saat itu kami terus berkomunikasi, termasuk ketika les sedang libur panjang karena Lebaran.
Setelah kursus dimulai lagi, menyadari bahwa hanya saya dan Dwiki yang pulang ke arah Jakarta Barat (lokasi kursus di Jakarta Selatan), ia menawari saya tumpangan sampai Slipi, dekat tempat kosnya. Sampai Slipi, ia menunggui sampai saya benar-benar naik taksi. Beberapa kali demikian, kemudian ia mengantar saya pulang sampai ke rumah dengan alasan sudah terlalu malam.
Teman-teman mulai curiga kami sering pulang bareng. Tapi belum ada apa-apa saat itu. Sampai pada 5 September 2013, dia mengantarkan saya sampai ke depan rumah setelah menemani saya me-review sebuah warung tenda nasi goreng di daerah Senopati sepulang les. Aroma parfumnya malam itu entah kenapa lebih kuat.
Ternyata, tepat di depan pagar rumah, sekitar pukul 23:00, dia menanyakan kesediaan saya menjadi pacarnya dalam Bahasa Prancis, sambil 'menitipkan' origami berbentuk hati kepada saya. Saat itu kami sudah sebulan dekat, dan karena sejak awal bertemupun saya sudah tertarik padanya, tak ada alasan bagi saya untuk mengatakan tidak.
Sejak hari itu, kami melewati banyak hal. Mulai dari indahnya hari-hari awal sebagai sepasang kekasih, sampai menghadapi badai pada bulan-bulan berikutnya. Perbedaan latar belakang dan lingkungan membuat kami tak jarang menghadapi konflik. Sungguh ini tidak mudah, tapi kami akhirnya bisa melewati 1 tahun. 2 tahun.
Dan setelah kurang lebih 2 tahun 8 bulan resmi bersama, tepat di hari ulang tahun saya yakni 6 Mei 2016, kami sah menjadi pasangan suami-istri di mata agama dan negara.
Siapa sangka?
Sekitar tiga tahun lalu, saya yang berambut pendek dan mengenakan dress kuning sedang menunggu kelas baru dimulai di IFI Wijaya, melihat dua laki-laki tak dikenal yang sepertinya juga sedang menunggu. Salah satu pria tersebut menarik perhatian saya karena pakaiannya rapi: batik, celana bahan, dan sepatu pantofel. I do have a thing for guys dressed up in office attire. Ternyata, kedua laki-laki tadi adalah anak baru di kelas saya. Pria berbatik tadi memperkenalkan dirinya sebagai Dwiki, seorang PNS di Ditjen Pajak.
Siapa sangka?
Laki-laki yang tiga tahun lalu menawarkan bangku dan bukunya kini menawarkan seluruh hidupnya bersama saya.
Tiga tahun lalu saya tidak pernah menyangka bahwa laki-laki Jawa inilah yang ternyata ditunjuk Allah sebagai jodoh saya, imam saya, lelaki yang kini terlelap di samping saya.
Terima kasih telah mengajari saya banyak hal, Mon Cheri. Semoga kita bisa bekerjasama membangun keluarga yang damai dan saling mencintai, menciptakan rumah yang menentramkan, dan saling mengajak ke arah kebaikan.
Terima kasih sudah menjadi salah satu kado ulang tahun terindah di hidup saya. Tu sais que je t'aime beaucoup (you know that I love you so much).
Ta femme (your wife),
Fitria Rahmadianti (Ema)
"Bonsoir (selamat malam)!" sapa saya sambil membuka pintu ruangan les. Le professeur (sang guru), Monsieur Iwan, menjawab dengan mengulangi ucapan saya sambil mempersilakan duduk. Tapi saat itu teman-teman saya sepertinya sedang rajin, hampir semuanya masuk. Saya kebingungan mencari tempat duduk.
"Di sini aja," kata Dwiki, anak baru di kelas saya, sambil mengangkat tasnya dari bangku kosong di sebelahnya. Dalam hati, saya agak deg-degan. Sebab, sejak awal masuk, laki-laki ini memang sudah menarik perhatian saya. Tapi saya berusaha stay calm saat duduk di sebelahnya.
Pelajaran dilanjutkan. Saya mengubek-ubek tas dan baru sadar kalau buku Version Originale saya ketinggalan. "Yah, enggak bawa buku," keluh saya. Dwikipun langsung menawarkan memakai bukunya bersama. "Barengan aja," katanya sembari menggeser bukunya ke tengah.
Di akhir kelas, Dwiki meminta nomor handphone saya untuk dicatat. Saya juga meminta nomornya untuk keperluan membuat grup WhatsApp kelas les ini.
---
Di kelas Prancis berikutnya.
Selesai kelas, saya dan teman-teman biasanya tidak langsung pulang, melainkan mengobrol sebentar di teras tempat kursus.
"Lo dulu kuliah di mana, Wik?" tanya saya ke Dwiki. Obrolan kami memang masih seputar basa-basi karena dia anak baru di kelas saya.
"Di Bintaro. Lo?" kata Dwiki.
"UI. Di Bintaro kampus apa?" saya tanya lagi.
"STAN."
"Wah, kenal Genti nggak?" saya menanyakan teman SMA saya yang kuliah di sana.
"Kenal banget. Temen sekosan gue. Lo kenal dari mana?"
"Dia temen SMA gue. Hahaha... Kenal Ade Sonny juga nggak?"
Berawal dari mutual friend, obrolan kami berlanjut meski masih dalam tahap permukaan.
---
Selesai pertemuan les selanjutnya, saya dan teman-teman kembali mengobrol sebentar di teras. Kali ini saya berbagi cerita tentang info yang saya dapat di media sosial, bahwa saat pemutaran film The Conjuring di Singapura, ada standing banner yang berisi peringatan akan efek setelah menonton The Conjuring. Teman-teman saya menanggapi dengan antusias.
Beberapa hari kemudian, Dwiki me-WhatsApp saya, mengajak ngobrol soal The Conjuring. Saya menanggapi seperti biasa, selayaknya teman les. Tapi saya menangkap bahwa dia selalu menjaga agar obrolan tetap mengalir dengan menanyakan sesuatu di akhir balasan chat-nya.
Sejak saat itu kami terus berkomunikasi, termasuk ketika les sedang libur panjang karena Lebaran.
Setelah kursus dimulai lagi, menyadari bahwa hanya saya dan Dwiki yang pulang ke arah Jakarta Barat (lokasi kursus di Jakarta Selatan), ia menawari saya tumpangan sampai Slipi, dekat tempat kosnya. Sampai Slipi, ia menunggui sampai saya benar-benar naik taksi. Beberapa kali demikian, kemudian ia mengantar saya pulang sampai ke rumah dengan alasan sudah terlalu malam.
Teman-teman mulai curiga kami sering pulang bareng. Tapi belum ada apa-apa saat itu. Sampai pada 5 September 2013, dia mengantarkan saya sampai ke depan rumah setelah menemani saya me-review sebuah warung tenda nasi goreng di daerah Senopati sepulang les. Aroma parfumnya malam itu entah kenapa lebih kuat.
Ternyata, tepat di depan pagar rumah, sekitar pukul 23:00, dia menanyakan kesediaan saya menjadi pacarnya dalam Bahasa Prancis, sambil 'menitipkan' origami berbentuk hati kepada saya. Saat itu kami sudah sebulan dekat, dan karena sejak awal bertemupun saya sudah tertarik padanya, tak ada alasan bagi saya untuk mengatakan tidak.
Sejak hari itu, kami melewati banyak hal. Mulai dari indahnya hari-hari awal sebagai sepasang kekasih, sampai menghadapi badai pada bulan-bulan berikutnya. Perbedaan latar belakang dan lingkungan membuat kami tak jarang menghadapi konflik. Sungguh ini tidak mudah, tapi kami akhirnya bisa melewati 1 tahun. 2 tahun.
Dan setelah kurang lebih 2 tahun 8 bulan resmi bersama, tepat di hari ulang tahun saya yakni 6 Mei 2016, kami sah menjadi pasangan suami-istri di mata agama dan negara.
Siapa sangka?
Sekitar tiga tahun lalu, saya yang berambut pendek dan mengenakan dress kuning sedang menunggu kelas baru dimulai di IFI Wijaya, melihat dua laki-laki tak dikenal yang sepertinya juga sedang menunggu. Salah satu pria tersebut menarik perhatian saya karena pakaiannya rapi: batik, celana bahan, dan sepatu pantofel. I do have a thing for guys dressed up in office attire. Ternyata, kedua laki-laki tadi adalah anak baru di kelas saya. Pria berbatik tadi memperkenalkan dirinya sebagai Dwiki, seorang PNS di Ditjen Pajak.
Siapa sangka?
Laki-laki yang tiga tahun lalu menawarkan bangku dan bukunya kini menawarkan seluruh hidupnya bersama saya.
Tiga tahun lalu saya tidak pernah menyangka bahwa laki-laki Jawa inilah yang ternyata ditunjuk Allah sebagai jodoh saya, imam saya, lelaki yang kini terlelap di samping saya.
Terima kasih telah mengajari saya banyak hal, Mon Cheri. Semoga kita bisa bekerjasama membangun keluarga yang damai dan saling mencintai, menciptakan rumah yang menentramkan, dan saling mengajak ke arah kebaikan.
Terima kasih sudah menjadi salah satu kado ulang tahun terindah di hidup saya. Tu sais que je t'aime beaucoup (you know that I love you so much).
Credit: W. Wedding Planner |
Ta femme (your wife),
Fitria Rahmadianti (Ema)
Hai Mba Ema, saya temannya Dwiki. Link tulisan ini sedang beredar di grup nih. Hihi. Selamat ya Mba sekali lagi, semoga menjadi keluarga samara. Cerita kalian bisa dijadiin FTV nih kayaknya. Hehehe.
ReplyDeleteCara berceritanya bagus sekali Mba, runtut. Jadi pengen kuliah komunukasi juga :D
Etapi jangan2 emang udah bakat menulis ya Mba. :p
Hai Mbak Nia!
DeleteWaduh, malu saya tulisan ini jadi omongan di grup. :)) Makasih Mbak, aamiin...
Kurang komersil untuk dijadiin FTV hehehe...
Apalah saya mah dibanding Mbak Nia yang udah jadi professional blogger. :D Btw salam kenal ya Mbak!
Semoga samara selalu ya ema ��
ReplyDeleteAamiin... Makasih Nunfi! :)
Delete😍😍😍 i'm the witness... karoke bareng di melawai termasuk salah satu pdkt atau udah jadiaan em ?
ReplyDeleteHahaha iyaaa lo juga kan yang ngeshare status in a relationship gw sampe heboh di grup wkwkwk... Itu kayaknya pas jaman PDKT deh Min. :))
Deletehahaaa masih ingat ajaah, gw dah lupaa.. :p
DeleteSelamat buat mbak ema dan mas wiki :') aku adek sepupunya mas wiki mbak, ceritanya bikin terharu banget, alhamdulillah mas wiki yang baik banget akhirnya dapat jodoh yang pastinya sangat baik juga, boleh repost di line ngga ceritanya mbak? Hehee :')
ReplyDeleteHai Lintang, salam kenal! Duh aku juga terharu baca komen kamu :') Boleh banget Lintang... :)
Deletehuft. siapa sangka dwiki jadi tetangga gw juga ya. :|
ReplyDeleteps, i'm still waiting for the jackfruit pudding.
Hahaha sing akur yo, udah rumah deket, kantor sekomplek pula. Cieee namanya ikutan famous... *pura-pura nggak liat soal jackfruit udding*
DeleteSelamat ya atas pernikahanya... salam buat bos kiki, mbak. Saya temen sekosannya dulu. Punten, gak bisa dateng kemaren. 😅
ReplyDeleteTerima kasih Mas Denny. Kata Dwiki gapapa, yang penting doanya. :)
Deletekeren
ReplyDelete