Busana pesta tak pernah memiliki seragam, mengapa harus tampil sama saat berpesta?
Oleh: Fabianda Soegiarto*
Pada suatu keriaan pesta di tempat paling
hip di Jakarta, berkumpul wanita cantik dengan balutan busana terbaik. Busananya dari keluaran label internasional paling
hit di musim itu, wajahnya bersinar cantik hasil perawatan teknologi kecantikan kelas wahid, tubuhnya pun harum semerbak memperkokoh pencitraan dari kebanyakan kalangan
fashion: elegan. Pasalnya malam itu adalah pesta pelansiran butik yang baru 'mendarat' di Jakarta. Pesta peresmian label
fashion tersebut menyebar undangan dengan kode busana yang harus dipatuhi:
Bringing Sexy Back! Alhasil di
wall of fame tempat acara itu berlangsung, terlihat perempuan-perempuan cantik berpose bersama dengan balutan busana bernuansa sensual.
Rata-rata mereka mengenakan
bondage dress yang ikonik ciptaan label
fashion Herve Leger kreasi Max Azria atau juga busana bersiluet yang menyerupainya. Gaun malam tersebut berpotongan mini, bahkan super mini, dengan desainnya yang ketat mengikuti lekuk tubuh dan bagian depan yang memamerkan belahan dada. Kelompok sosialita muda tersebut pun beralas kaki sama,
pump shoes bersol merah yang legendaris dan harganya bisa membeli satu motor seri terbaru. Gaya rambutnya juga sama, digerai dengan tatanan volume hasil tatanan
hair stylist dari salon-salon kelas atas. Di saat sesi
cocktail sebelum acara dimulai pun sampai-sampai
attitude mereka seragam: 'cipika-cipiki' (cium pipi kanan dan kiri) saat bertemu teman-temannya yang juga diundang di acara tersebut. Gaya tertawanya sering terlihat tidak lepas. Sesekali mereka mengibaskan rambutnya ke belakang. Sapaannya bisa setipe dengan sapaan paling manis di pergaulan Ibukota dalam Bahasa Inggris: "
Hi Babe, how are you? You look fabulous!" Sungguh mengesankan.
Saat akhir acara, yang punya acara naik ke pentas untuk mengumumkan
best dressed dari tamu yang hadir malam itu. "
And the best dressed for this night is Miss Daphne Guiness!" Dengan langkah percaya diri dan berbahagia perempuan itu naik ke atas panggung menerima hadiah produk dari label
fashion yang punya acara malam itu. Perempuan itu mengenakan busana malam berpotongan panjang menutupi leher dan lengan dengan material sutera transparan berpalet hitam yang mengilap dan memperlihatkan busana dalam sejenis
body suit yang terlihat samar-samar. Tata rambut
up do, alas kakinya
ankle boot hitam, dan lehernya bertabur perhiasan batuan kristal berdesain maksimalis. Kelompok sosialita yang duduk di baris depan dengan gaya yang seragam tersebut pun turut bertepuk tangan dan saling menoleh kanan-kiri kepada teman-teman yang duduk di sampingnya dengan wajah keheranan dan tak menerima kenyataan.
Mengapa harus seragam?
Dress code pada gelaran pesta memang sewajarnya harus dipatuhi untuk menghargai yang punya hajatan. Namun mempresentasikan kode busana yang diminta untuk suatu pesta tak harus sama, bukan? Bila kode busana pada cerita di atas meminta tampilan busana seksi bukan berarti gaya busana bernuansa sensual tersebut hadir melalui mini
dress dan memamerkan bagian dada yang membuat setiap pria yang melirik Anda ingin menerkam dan berimajinasi. Busana bernapas seksi bisa hadir dengan gaun panjang seperti si pemenang busana terbaik.
Busana seksi bisa hadir dengan elegan dengan eksplorasi material transparan, mengekspos bagian punggung belakang, atau motif bernapas sensual seperti
animal prints hingga ke aksesori-aksesori pelengkapnya. Anda diminta untuk kreatif soal berbusana agar pilihan dan gaya berbusana Anda sangat individual hingga bisa naik ke atas panggung dengan gelar busana terbaik. Referensi dan frekuensi Anda 'bermain' pada elemen busana dijamin bisa membuat Anda mahir soal berbusana dan akan menonjol di kelompok Anda dengan selera personal.
Sekali lagi, keseragaman dalam berbusana terutama saat berpesta membuat rekaman foto tak semarak, bukan? Gaya busana yang variatif pada tamu undangan memperlihatkan keindahan dan kesuksesan ranah
fashion bagi Anda. Jangan jadikan
dress code sebagai jebakan untuk tampil seragan. "Eh kamu pakai baju apa nanti malam?" sambil sibuk bertanya dan mengecek teman-teman agar tampil seperti kebanyakan.
_______________________________________________________________________
*) Sebuah artikel menarik yang saya salin dari majalah 360 edisi Oktober-November 2011.