05 December 2014

Banyak Minum Susu Sapi Tingkatkan Risiko Kematian?

Selama ini kita menganggap bahwa susu sapi memperkuat tulang dan menyehatkan tubuh. Namun, sebuah studi di jurnal medis The BMJ baru-baru ini menyebutkan bahwa orang yang banyak meminum susu sapi meninggal pada usia lebih muda dibanding mereka yang jarang minum susu.

Minum susu sapi. Foto: Getty Images



Ilmuwan dari Uppsala University Swedia menggunakan data yang diambil dari 61.000 orang wanita berusia 39-74 tahun yang diamati selama 20 tahun. Mereka juga memakai data dari 45.000 pria berumur 45-79 tahun yang dimonitor selama 11 tahun.

Peneliti mencatat rincian terkait makanan dan gaya hidup, berat badan, kebiasaan merokok, frekuensi olahraga, tingkat pendidikan, dan status perkawinan para sukarelawan.

Di akhir masa studi yang panjang tersebut, 25.500 orang meninggal dunia, sedangkan 22.000 orang mengalami patah tulang. Tingginya asupan susu tampak tidak menurunkan risiko patah tulang, namun bisa jadi berkaitan dengan tingginya angka kematian.

Di kalangan wanita, 180 dari 1.000 orang yang meminum tiga gelas susu atau lebih sehari meninggal dunia pada periode studi 10 tahun. Angka tersebut lebih kecil pada grup yang meminum sekitar dua gelas susu per hari, yakni 126 orang. Sementara itu, mereka yang meminum segelas susu atau kurang dalam sehari memiliki angka kematian 110:1000.

Bagaimana dengan angka patah tulang pinggul? Ternyata pada wanita yang minum banyak susu, jumlahnya 42 dari 1.000 orang. Kondisi ini juga menimpa 35 dari 1.000 orang perempuan yang mengonsumsi susu dalam jumlah sedang. Pada wanita yang minum susu paling sedikit, angka patah tulang pinggul juga paling rendah, yakni 31:1.000.

"Wanita yang mengonsumsi tiga gelas susu atau lebih per hari berisiko meninggal dunia 90% lebih tinggi, mengalami patah tulang pinggul 60% lebih tinggi, dan patah tulang di bagian lain 15% lebih tinggi dibanding wanita yang minum susu kurang dari segelas sehari," ujar Karl Michaelsson, penulis studi dari Uppsala University.

Bagi pria, perbedaan angka kematian tampak tak begitu jelas. Dalam masa studi lebih dari 10 tahun, tingkat kematian laki-laki yang meminum susu tiga gelas atau lebih sehari 207:1000, yang mengonsumsi susu dua kali sehari 189:1000, sedangkan yang meneguk susu satu kali sehari atau kurang 182:1000. Tidak ada perbedaan dalam angka patah tulang.

"Tingginya risiko kematian terbukti dengan semua jenis susu, baik full-fat, half-fat, maupun susu skim. Risiko ini dimulai dari asupan harian dua gelas susu," kata Michaelsson.

Ia menambahkan, pada konsumsi setengah sampai satu gelas susu per hari, ada kecenderungan sedikit berkurangnya risiko patah tulang panggul dibanding yang tidak meminum susu sama sekali. Namun hal ini tidak berlaku bagi risiko kematian.

Tim peneliti menemukan bahwa produk susu fermentasi seperti keju atau yoghurt terkait dengan rendahnya angka kematian dan patah tulang, terutama pada wanita. Salah satu alasannya, diduga karena susu (bukan keju) tinggi D-galaktosa, jenis gula yang mempercepat penuaan dan memperpendek umur pada studi hewan.

Bagaimanapun juga, peneliti mengatakan bahwa tak mungkin menarik kesimpulan atau memberi rekomendasi terkait konsumsi susu sampai ada penelitian lebih lanjut. Hasil studi ini mungkin tak berlaku bagi orang-orang dari etnis lain dengan tingkat toleransi laktosa yang berbeda.

Susu juga memiliki kadar gizi berbeda yang bergantung pada faktor seperti fortifikasi makanan dan makanan sapi. Hasilnya juga bisa dikacaukan oleh fenomena 'sebab-akibat terbalik'. Contohnya, penderita osteoporosis yang berisiko tinggi patah tulang meningkatkan asupan susu mereka. Jadi saat mereka mengalami patah tulang, tingginya konsumsi susu jadi kambing hitamnya.

Mary Schooling dari City University of New York School of Public Health mengatakan bahwa peran susu dalam kasus kematian perlu diperjelas sesegera mungkin. Sebab, konsumsi susu akan meningkat seiring berkembangnya ekonomi.

Ahli lain mencatat kekurangan dalam studi ini. Salah satunya adalah konsumsi susu dilaporkan sukarelawan sendiri. Hal ini sering menjadi cacat dalam riset tentang makanan.

Selain itu, penulis studi juga tidak menjelaskan jenis kegiatan fisik yang dilakukan pria dan wanita tersebut. Contohnya adalah apakah mereka mengangkat beban dan karena itu tulang mereka menjadi kuat, atau tidak.

"Penelitian ini menghasilkan lebih banyak pertanyaan daripada memberikan jawaban," kata Catherine Collins, ahli diet utama di St George's Hospital di London, Inggris, seperti ditulis AFP (29/10/2014).

No comments:

Post a Comment

Pendapat Anda?