23 October 2016

Travel: Dieng Culture Festival Day 3

Sabtu, 6 Agustus 2016


Bukit Sikunir dan Telaga Cebong


Mengingat capeknya trekking ke Bukit Scooter kemarin, rasanya jadi ragu bangun pagi-pagi untuk naik ke Bukit Sikunir besok demi melihat sunrise. Soalnya, saya dengar, jalur trekking-nya lebih panjang, padahal di Bukit Scooter saja sudah lumayan pegal. Selain itu, suhu di Sikunir kadang-kadang bisa minus! Brrr... Suhu dingin di homestay saja saya tak kuat. Apalagi saya harus bangun super pagi kalau jadi ke sana besok. Iya, saya memang traveller manja. Hehe...

Tadinya saya ingin di homestay saja sementara suami ke Sikunir. Tapi suami terus memberikan dorongan kepada saya untuk tetap ikut. Akhirnya, dengan setengah hati, saya mengiyakan.

Kami bangun telat satu jam dari jadwal seharusnya yakni pukul 02:00. Itupun karena kami mendengar ada orang membangunkan dari luar homestay. Saya mendobel-dobel pakaian supaya tidak mati kedinginan: satu lapis manset, satu lapis sweater tipis, dan satu lapis jaket; dua lapis celana; dua lapis kaus kaki; masker kain supaya wajah enggak kedinginan; dan sarung tangan wol. Saya dan suami menembus dingin saat berjalan ke luar homestay menuju tempat parkir bus. Semua masih gelap.

Kami menuju Bukit Sikunir menggunakan bus yang sama selama perjalanan kami di Dieng. Bus menurunkan kami di tempat parkir, lalu kami memulai trekking dalam rombongan. Semua orang membawa senter sebagai penerang jalan.

Jalurnya lebih seperti tangga dengan pijakan batu yang lumayan landai, namun kadang-kadang sedikit curam dan karenanya dilengkapi railing untuk berpegangan. Arah treknya juga jelas. Suami dengan sabar menunggui saya yang lamban dan terkadang butuh istirahat.

Setelah sekitar 30 menit trekking, kami menemukan musala dan dataran tempat rehat (kalau tidak salah disebut sebagai Pos 1). Kami beristirahat sebentar sambil menunggu waktu subuh tiba untuk salat.

Fasilitas musala yang seadanya jadi 'rebutan'. Air untuk wudu dialirkan lewat sebatang bambu yang diberi lubang-lubang untuk tempat mengucurkan air. Namun, tidak semua lubang mengeluarkan air. Alhasil, antrean wudu jadi panjang.

Selain itu, karena tidak ada sandal jepit atau bakiak musala untuk dipakai wudu, saya terpaksa berjinjit nyeker dari tempat wudu ke musala. Sebelum masuk musala, saya membersihkan kaki dulu dari debu dan tanah yang menempel. Untuk salat juga harus antre, karena musala bermaterial bambu dan rotan ini ukurannya kecil. Di tengah saya salat saja, tiba-tiba ada mas-mas berdiri sejajar dengan saya lalu memulai salat.

Kami melanjutkan perjalanan ke puncak Sikunir dan menemukan beberapa pilihan jalur yang menuju puncak Sikunir berbeda. Kami mencoba salah satunya dan sampai di sebuah puncak. Tapi, karena puncak tersebut kurang tinggi, datarannya kurang luas, dan kurang strategis untuk melihat matahari terbit, kami pindah ke puncak lain.

Puncak berikutnya lebih luas tapi lebih ramai. Orang-orang sudah mengarahkan lensanya ke arah matahari terbit. Saya dan suami berusaha mencari celah untuk bisa ikut mengabadikan momen.

Semburat garis keemasan mulai terlihat di ufuk timur dan orang-orang mulai aktif menekan tombol shutter. Perlahan, semburat tersebut semakin besar dan muncullah si bulat bercahaya oranye keluar dari persembunyiannya, menyapa para pemburu sunrise.

Sunrise di antara ranting pohon
Lupa copot masker hohoho

Setelah puas berfoto-foto, saya dan suami menyudahi trekking ini dan turun ke parkiran, sementara masih banyak orang cekrak-cekrek di atas sana. Ternyata, udara di Sikunir tidak sedingin yang saya bayangkan, kok, meski kalau bicara terkadang mulut mengeluarkan uap. Jalurnya juga tergolong ramah untuk pemula seperti saya.

Nikmat sekali rasanya menghirup udara bersih dataran tinggi Dieng. Namun, di tengah proses saya memasukkan oksigen segar sebanyak-banyaknya ke paru-paru, ada saja asap rokok atau polusi kendaraan yang melintas di sekitar hidung. Huh, kalau sudah begitu rasanya kesal!

Mendekati tempat parkir, kami menemukan banyak penjual makanan yang mulai ramai didatangi para pelancong yang ingin mengisi perut. Kami sarapan di salah satu warung yang menjual nasi jagung. Capek setelah trekking dibayar dengan nasi jagung, beberapa lauk, gorengan, teh manis hangat, serta pemandangan undakan Bukit Sikunir plus udara sejuk. Sayup-sayup terdengar alunan lagu dari musisi jalanan yang kami lewati tadi. What a breakfast with a view!

Maafin talentnya yang gembul makan melulu, ya...

Usai sarapan, kami menuju bus di tempat parkir untuk pulang. Namun, ternyata belum ada bus yang jalan karena para penumpangnya masih asyik main di Bukit Sikunir. Kami berjalan-jalan saja di sekitar tempat parkir. Di sana ada Telaga Cebong yang di pinggir-pinggirnya banyak orang berkemah di tenda. Di sini juga ada flying fox dan sepeda angsa untuk mengitari danau.

Batu Ratapan Angin dan Dieng Plateau Theatre


Pulang dari Bukit Sikunir, kami istirahat dulu di homestay masing-masing sebelum melanjutkan tur ke Batu Ratapan Angin setelah zuhur. Di tempat wisata ini, kami berjalan kaki menanjak lagi, tapi kali ini medannya berupa bebatuan besar. Di sini ada beberapa spot foto dengan pemandangan mengarah ke Telaga Warna yang kami datangi kemarin.

Saya dan suami terus naik sampai ke puncak Batu Ratapan Angin, di mana Jembatan Merah Putih berada. Jembatan goyang yang tersusun dari bilah-bilah kayu dan tali tambang ini diikatkan di dua 'tiang' batu. Rupanya Jembatan Merah Putih bisa dinaiki dengan membayar sekian rupiah. Maklum, soalnya sudah termasuk jasa foto langsung jadi. Kami tak ikut naik jembatan, cukup berfoto dengan latar belakang telaga berwarna turqoise tadi.

Puncak Batu Ratapan Angin dengan pemandangan Telaga Warna

Saat turun, kami melihat flying fox yang bisa dinaiki dengan biaya Rp 25.000 per orang untuk sekali perjalanan. Saya suruh suami untuk main, tapi dia ragu karena itu berarti saya harus turun sendiri, sedangkan jalan turunnya berpasir-pasir. Ia takut saya terpeleset. Akhirnya tidak jadi.

Batu Ratapan Angin rupanya satu kompleks dengan Dieng Plateau Theatre, tempat kita bisa menonton film pendek dan presentasi tentang sejarah Dieng. Tapi saat kami mau masuk, rupanya acara sudah dimulai. Jadilah kami keliling-keliling saja. Belakangan, kami bersyukur tak jadi masuk ke Dieng Plateau Theatre karena katanya pertunjukannya membosankan dan lama.

Ternyata, di dekat Dieng Plateau Theatre, ada lagi flying fox, tapi yang ini lebih menantang karena disebut-sebut sebagai flying fox tertinggi se-Pulau Jawa. Jalurnya juga lebih panjang. Biayanya per orang Rp 35.000/perjalanan, tapi di ujung bawah kita akan diantar dengan ojek sampai ke tempat awal. Suami saya tertarik naik. Katanya memang lumayan seru. Andai saya sedang tidak hamil, pasti saya ikut naik juga.

Kawah Sikidang


Dari kompleks Dieng Plateau Theatre, kami menuju ke Kawah Sikidang menggunakan bus. Tempat ini seperti Kawah Tangkuban Perahu di Bandung, kawahnya mengeluarkan asap sulfur. Saya baru tahu kalau asap sulfur sebaiknya tidak boleh dihirup (ke mana aja looo), jadi kami membeli masker sebelum masuk.

Dari pintu masuk, kami melewati semacam pasar oleh-oleh dulu, baru kemudian menginjak kawasan Kawah Sikidang yang luas. Pemandangan didominasi warna putih dari pasir dan asap sulfur yang menguap dari kawah di ujung. Saya dan suami menyusuri trotoar yang di pinggirnya ada bermacam-macam pedagang, mulai dari penjual jajanan sampai edelweiss. Di sini juga ada jasa foto bareng burung hantu dengan biaya Rp 5.000 per orang. Berhubung saya gemes sama celepuk (burung hantu kecil), saya foto bareng, deh. Belakangan, saya baru tahu kalau tindakan ini kurang terpuji karena burung hantu jadi dipaksa bangun pada waktu tidurnya (siang hari). :(

Maaf, ya, celepuk, udah gangguin waktu tidur kamu. :(

Festival Lampion dan Kembang Api


Di perjalanan pulang, teman-teman di bus 21 yang saya dan suami tumpangi janjian untuk mencarter bus ini untuk mengantarkan kami ke festival lampion nanti malam di Kompleks Candi Arjuna. Sekitar jam 20:00, kami yang terdiri dari sekitar 15 orang berangkat. Di perjalanan, kami melihat satu per satu lampion sudah diterbangkan.

Busmates!

Sampai di venue, wah, ternyata sudah padat sekali! Tempatnyapun agak gelap karena tidak ada penerangan memadai. Akhirnya kami membentuk barisan seperti kereta api agar tidak ada anggota hilang. Misi kami: bertemu dengan Mas Firman (team leader kami) karena dia yang memegang lampion. Mas Firman saat itu menunggu di salah satu stan di pinggir panggung Jazz Atas Awan.

Rupanya perjuangan menuju tempat tersebut tidak mudah. Kami seperti menembus kerumuman orang yang sedang menonton konser. Risiko yang bisa saja kami hadapi di antaranya tersesat karena terpisah dengan rombongan atau terdorong lalu jatuh terinjak-injak. Rombongan kami sempat terbagi dua karena tak sanggup menembus kerumunan orang. Namun, setelah memutar otak dan bertanya sana-sini, akhirnya kami bisa berkumpul lagi di tempat janjian. Kami excited seperti sedang reuni dengan teman lama. Hahaha...

Tapi masalah tidak selesai di situ saja. Mas Firman either susah dihubungi atau dia sulit menemukan kami karena berbeda stan yang dimaksud. Kami menunggu lumayan lama sambil memerhatikan orang-orang di sekeliling kami mulai menerbangkan lampion. Beberapa lampion gagal terbang, malah jatuh lagi dan membahayakan orang-orang di bawahnya. Ada juga lampion yang tersangkut di pohon.

Setelah menunggu lumayan lama, akhirnya Mas Firman yang ditunggu-tunggu sampai dan membagikan lampion ke semua orang. Kami pindah ke area taman agar lebih leluasa menerbangkan lampion. Perlu minimal dua orang untuk menerbangkan lampion. Setelah lipatan lampion dibuka, harus ada yang memegang lampion sambil mengangkat tudungnya, lalu satu orang lagi membakar sumbu di lampion. Tunggu sampai api mengembangkan tudung dan muncul asap, baru Anda bisa perlahan melepas lampion sambil diangkat. Saya dan suami berhasil menerbangkan lampion dalam satu kali coba, dengan sedikit bantuan dari teman-teman. Rasanya happy! Langit sekitar Kompleks Candi Arjuna jadi penuh lampion dan nyala kembang api dari panggung.

Yippee!

Sky festive

Sebelum pulang, kami sudah menelepon supir bus untuk menjemput kami. Tapi, karena lama, kami memutuskan berjalan ke luar Kompleks Candi Arjuna dan bertemu dengan supir di pinggir jalan. Ternyata posisi supir masih jauh juga dari lokasi kami. Kami yang sudah lelah dan pegalpun berusaha menyusul bus, namun setelah berjalan beberapa lama, akhirnya kami numpang duduk di teras sebuah hotel karena kecapekan.

Rupanya malam itu jalanan macet total. Pertama, karena orang-orang dan pengguna kendaraan bermotor barengan keluar ke jalan setelah mengikuti festival lampion dan kembang api. Kedua, karena di depan hotel yang kami singgahi dan di sepanjang jalan tersebut, ada beberapa mobil yang parkir di pinggir jalan dan karenanya membuat kemacetan terkunci. Sebenarnya, bukan sepenuhnya kesalahan si pemilik mobil, sih, karena memang tidak ada tempat parkir lagi di situ.

Teman-teman yang baik punya ide untuk mencari ojek untuk saya yang sedang hamil dan Mbak Ika yang sedang membawa bayi agar bisa pulang duluan. Sayang, tidak ada ojek, dan pemilik sepeda motor di sekitar situ juga tidak mau jadi ojek dadakan melihat situasi saat itu. Akhirnya, sekitar pukul 01:00, kami memutuskan berjalan kaki ramai-ramai menuju homestay. Itulah satu-satunya cara agar bisa pulang, walau sebenarnya kami sudah sangat lelah.

Kami menembus lautan kendaraan bermotor yang berhenti total dan 'terparkir' rapat-rapat, sampai-sampai tak ada ruang untuk sepeda motor menyalip dan terkadang kami yang berjalan kakipun tak bisa lewat. Kadang-kadang kami menyusuri perbatasan jalan dan sawah yang agak gelap, yang kalau tak hati-hati bisa membuat kami terpeleset dan tercebur ke ladang yang lumayan dalam.

Setelah berjalan sekian lama, akhirnya kami melihat cahaya lampu dari rumah-rumah di pemukiman dekat homestay kami. Rasanya terharu akhirnya sudah mau sampai. Beberapa penduduk masih terjaga dan menghangatkan diri dengan menangkupkan tangan di atas asap bara arang di tungku yang diletakkan di depan rumah.

Akhirnya kami berpisah untuk menuju homestay masing-masing, dan saya buru-buru mempersiapkan diri untuk kemudian meringkuk di balik bedcover tebal. Saya mengelus-elus perut sambil bersyukur si dedek kuat diajak berlelah-lelahan beberapa hari ini.

Apakah hari keempat akan seseru hari ini? Tunggu kelanjutan tulisan saya, ya!

Baca juga:
Travel: Dieng Culture Festival Day 1 and 2

No comments:

Post a Comment

Pendapat Anda?