01 November 2011

Serba-serbi Lampung

Ini cerita tentang lebaran di Lampung, September 2011 lalu, namun baru sempat ditulis sekarang.
____________________________________________________________



Jurnal


Hari 1:


Rabu, 31 Agustus 2011. Empat jam awal setelah pergantian hari, saya, ayah, ibu, dan kedua adik saya sudah sibuk mengemas barang. Usai memastikan tak ada barang yang tertinggal serta tak ada air, api, dan barang-barang elektronik yang masih menyala, kami berangkat menuju Pelabuhan Merak pada pukul 05.30.

Hari itu masih ada masyarakat muslim Indonesia yang misuh-misuh terkait ketidakjelasan penentuan hari Idul Fitri 1432 H. Masalah yang paling banyak dikeluhkan orang-orang adalah: sudah terlanjur masak banyak untuk hari Lebaran yang ternyata diundur sampai esok harinya oleh pemerintah. Saya sih tidak khawatir, karena kami sekeluarga merayakan Lebaran pada tanggal 30 Agustus 2011.

Nah, karena banyak pula orang-orang yang ber-Lebaran di hari itu, jalanan sungguhlah lengang. Duri Kosambi, Cengkareng (rumah saya) sampai Merak, dapat ditempuh dalam waktu satu jam, setengah dari waktu tempuh normalnya.

Saat memasuki Pelabuhan Merak, halaman luas yang tiga hari sebelumnya dipadati mobil pemudik, kini beralih fungsi jadi tempat menunaikan Sholat Ied berjamaah. Tak jauh dari situ, ada gerbang untuk membayar tiket. Tertulis: sepeda roda dua Rp 20.000, motor roda dua Rp 32.500, motor besar/roda tiga Rp 78.500, mobil sedan dan sejenis Rp 232.500, mobil pick-up Rp 204.000.

Mobil berjalan ke dermaga yang ditunjuk petugas. Sebuah kapal roro baru saja berangkat. Kami menunggu sebentar sampai kapal berikutnya siap menganga untuk menelan kaleng-kaleng besi beroda karet.

Datanglah ia. Namanya KMP Mufidah Ujung Pandang, membuat saya teringat akan Ibu Mufidah Kalla, istri dari Bapak Jusuf Kalla, mantan wakil presiden RI. Mereka berasal dari Makassar. Dalam kepala, saya mulai mereka-reka hubungan Beliau dengan kapal ini.

Mobil saya termasuk yang pertama parkir di 'teras' kapal. Kami kemudian naik ke lantai dua, menuju ruangan yang bertuliskan 'lesehan'. Kami mengambil tempat di pojok karena dapat bersandar dan melihat ke laut lepas melalui kaca jendela. Tempatnya ber-AC, bersih, dan nyaman, terutama karena tidak banyak orang yang menyeberang hari ini. Ada beberapa TV LCD terpasang di dinding, menyetel film Warkop. Petugas berkeliling menjajakan mie seduh instan dan menyewakan bantal. Untuk menikmati segala fasilitas ini, penumpang harus membayar Rp 8.000/orang.


Suasana ruang lesehan

Kapal ini meninggalkan Merak pukul 07.30 dan tiba di pulau seberang sekitar dua jam kemudian. Kami meneruskan perjalanan ke rumah tante saya di Teluk Betung Utara, Bandar Lampung.

Sepanjang perjalanan, kami melewati bukit-bukit kapur, pantai, dan terminal peti kemas. Jalanan di sini lebar-lebar, mulus, tidak macet, dan bersih. Makin mendekati Teluk Betung, jalanan makin sering naik-turun dan berliku. Udara di sini juga cenderung lebih sejuk.

Pukul 11.00, kami tiba di rumah tante saya. Total jarak yang kami tempuh dari rumah sampai sini adalah 100 km lebih. Kami disambut oleh keramahan tuan rumah dan beberapa tamu yang juga membantu kami menurunkan koper-koper. Di lingkungan rumah tante saya, Lebaran dirayakan hari ini, jadi di ruang tamu sedang ramai acara silaturahmi.

Hal yang unik di sini adalah tetangga saling mengunjungi, tak peduli apakah tamu yang didatangi sebelumnya sudah bertamu ke rumahnya. Jadi bisa dibilang, dalam satu hari Lebaran, dua keluarga saling bertemu dua kali. Hubungan antar tetangga di sini memang dekat dan mereka saling membantu. Jika ada momen-momen penting seperti wisuda dan haji, tuan rumah akan mengundang keluarga dan tetangga untuk selamatan. Berbeda dengan hubungan bermasyarakat di Jakarta yang cenderung individualis.

Hari 2:

Kami bersilaturahmi ke rumah saudara-saudara, masih di daerah Bandar Lampung. Tidak hanya saudara dekat, tapi juga saudara jauh. Hmm, saya perlu banyak waktu untuk menghafal wajah, nama, dan hubungan mereka dengan saya.

Faktor banyaknya saudara bukan satu-satunya yang menyulitkan saya mengingat mereka. Selain itu, panggilan dalam Bahasa Lampung jauh lebih kompleks daripada Bahasa Indonesia. [lihat subjudul 'Bahasa']

Hari 3:

Kami menjenguk saudara yang kondisinya sedang kritis di RSUD Menggala, Tulang Bawang, Lampung Utara. Di pertigaan Metro - tepatnya di Tegineneng, Pesawaran, lintas Sumatra - terdapat penyempitan jalan sehingga macet. Kami melewati Bandara Radin Inten II, gerbang lalu lintas udara di provinsi Lampung. Kami terus berkendara ke utara.

Lepas Bandar Lampung, mulai terlihat rumah-rumah konvensional satu lantai dengan beranda dan halaman luas, tanpa pagar. Sesekali tampak rumah mewah yang mencolok dibanding rumah-rumah sederhana di sekitarnya. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya agak jauh. Kadang diselingi kebun.

Pemandangan tersebut semakin jelas saat memasuki Lampung Tengah. Kontur tanah di sini lebih landai dibanding Teluk Betung yang berbukit-bukit. Sesekali terlihat pohon jati, nyiur, singkong, kelapa sawit, dan mangga. Di Terbanggi Subing, Gunung Sugih, banyak penjual sawo di pinggir jalan. Pemukiman mulai padat lagi saat memasuki Seputih, Bandar Jaya.

Singkat cerita, kami sudah sampai di RSUD Menggala. Kami pamit tengah hari dan langsung mencari rumah makan terdekat yang buka (kebanyakan rumah makan tutup karena masih dalam masa libur Lebaran). Di sana, kami sempat mengalami pencurian (silakan baca di sini).

Kami mengambil jalan berbeda untuk pulang ke Bandar Lampung. Di pertigaan Asrama Haji Tulang Bawang, kami berbelok ke kanan. Jalanan mulus, sepi, dan jarang terlihat rumah. Kami melewati pabrik Gulaku beserta kebun tebunya yang luas, pun beberapa perusahaan perkebunan, serta kebun nanas. Syukurlah kami melintas pada siang hari karena saya tidak melihat ada lampu jalan di sepanjang Lintas Timur itu.

Kecepatan mobil harus diturunkan saat akhirnya kami menemui jalanan rusak, selepas jalan pabrik tadi. Di daerah yang bernama Seputihraman, Lampung Tengah, ini, banyak terdapat rumah dengan nuansa Bali dan pura kecil di halaman rumah atau di lantai dua. Daerah ini terlihat gersang karena telah lama dihinggapi kemarau. Petunjuk arah yang nyaris tidak ada membuat saya semakin kapok mampir ke sini. Akhirnya, setelah bertanya sana-sini, kami berhasil tiba di rumah dengan waktu tempuh nyaris dua kali lipat perjalanan pergi.

Hari 4:

Rekreasi ke Pantai Mutun, itulah judul perjalanan kami kali ini. Jaraknya hanya sekitar 30 menit dari rumah tante saya, dari Teluk Betung Utara ke Teluk Betung Selatan. Sayang, macet 1 km menjelang Pantai Mutun membuat jarak terasa lebih jauh. Wajar saja, mengingat di sini tidak hanya ada Pantai Mutun, melainkan juga beberapa pantai lain seperti Pantai Duta Wisata, Pantai Lempasing, Pantai Puri Gading, Pantai Tirtayasa, dll.

Tak jauh dari gerbang masuk, beberapa orang sibuk memberikan karcis. Mobil ditarik bayaran Rp 2.000, sedangkan motor Rp 1.000. Bukan, mereka bukanlah petugas resmi Pantai Mutun. Tampaknya mereka adalah warga sekitar yang memanfaatkan antusiasme rekreasi para turis.

Jarak dari jalan raya ke gerbang utama agak jauh. Jalanan yang dilewati terdiri dari pasir dan bebatuan. Di kanan-kiri jalan terlihat kebun, sesekali ada rumah gubug. Saya membayangkan daerah ini pada malam hari karena tidak terlihat lampu jalan.

Kami tiba di loket karcis. Harga tiket masuk untuk orang Rp 5.000, sepeda motor Rp 10.000, angkot Rp 35.000, bis kecil Rp 100.000, bis besar Rp 150.000.

Pantai ramai dikunjungi wisatawan. Maklum, waktu itu hari Minggu, libur Lebaran. Karena dalam masa liburan itu pula, tarif sewa pondok dan beberapa permainan jadi lebih mahal. Pondok (gazebo) berukuran kecil harga sewanya naik dua kali lipat menjadi Rp 50.000 (ukuran kecil) dan Rp 100.000 (ukuran besar). Kano dan dayung pun naik dua kali lipat dari harga sewa Rp 10.000 di hari biasa. Namun, ada pula beberapa permainan yang berharga stabil, seperti banana boat (Rp 25.000/orang), perahu ke Pulau Tangkil (Rp 10.000/orang), dan ban renang (kecil: Rp 8.000, besar: Rp. 10.000).

Pondok

Kano
Suasana Pantai, Banana Boat, dan Pulau Tangkil
Jika berenang, pilihlah pantai sebelah barat. Kaki Anda akan lebih aman berpijak dibanding pantai sebelah timur yang karangnya kasar.

Selesai bermain air, Anda dapat membersihkan sisa air laut di tubuh Anda di kamar bilas. Sayang, airnya berbau seperti besi. Itupun hanya keluar sedikit di beberapa keran saja. Beberapa kamar ganti kotor dan bau pesing, diperparah dengan rusaknya kunci pintu. Anehnya, ada lubang segiempat besar di dinding yang membatasi ruang bilas perempuan dan laki-laki, membuat siapapun dapat mengintip ke ruang sebelah. Jika Anda hanya perlu ke kamar kecil, Anda dipersilakan membayar Rp 2.000 sekali kunjungan.

Hari 5:

Kami mengakhiri liburan di Lampung dan kembali ke Jakarta, bersiap memulai segala rutinitas. Tarif Pelabuhan Bakauheni sama seperti Merak. Kapal yang kami naiki bernama KMP BSP II Bukit Samudera Perkasa. Untuk masuk ke kelas 1, tiap orang dimintai uang Rp 5.000, sedangkan lesehan Rp 8.000. Di kelas 1, AC sama sekali tidak terasa, ruangan pun tertutup. Berbeda jauh dengan kapal yang kami naiki saat berangkat ke Lampung. Alhasil kami seperti masuk kelas 3 atau ekonomi, menjalani dua jam perjalanan dengan keringat bercucuran.

Kuliner

Di Lebaran kali ini, saya berkesempatan mencicipi berbagai makanan khas Lampung. Salah satu makanan yang selalu ada di meja sebagai sajian Lebaran adalah lapis legit Lampung. Berbeda dengan lapis legit biasa, penganan ini lebih gurih, manis, legit, dan lengket. Tampaknya bahan baku yang dominan adalah telur, gula pasir, dan kayumanis. Ada pula yang dibuat dengan tepung ketan, sehingga teksturnya lebih kenyal.

Lapis Legit Lampung (berwarna cokelat) dan Kue Tat (tengah, kuning keemasan)

Selain itu, ada pula pempek dan tekwan. Berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan membuat Lampung turut mengadaptasi keduanya sebagai makanan khas. Bedanya, pempek yang disajikan di rumah-rumah saat Lebaran berbentuk bulat-bulat, berukuran sekali santap, lembut, dan biasanya disajikan di piring kecil untuk dicocol dengan kuah cuka. Tekwan merupakan hidangan berkuah yang terdiri dari tekwan itu sendiri (terbuat dari tepung sagu, ikan, telur, dan garam), jamur kuping, irisan bengkoang, seledri, udang kering, dan kepiting. Jika ingin rasa yang lebih pedas, sambal hijau dapat ditambahkan ke dalam kuah tekwan.

Tekwan

Buat pecinta durian, Lampung juga terkenal akan tempoyak-nya. Tempoyak adalah daging buah durian yang disimpan dalam waktu lama sehingga berfermentasi dan menjadi asam. Orang Lampung biasa mengonsumsi tempoyak dalam setelah dimasak dengan cabai giling dan menjadi sambal.


Sambal Tempoyak


Kami sekeluarga diundang makan oleh sepupu dari ibu saya. Di sini saya menemukan sajian khas Lampung lainnya yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

Hidangan Lampung, Siap Disantap

Pertama, ada seruit. Isinya terdiri dari daging ikan, irisan timun, terong hijau rebus, mangga, tempoyak, kuah pindang ikan patin, dan sambal terasi. Semuanya diremas-remas dengan tangan. Mungkin Anda berpikir, seperti apa rasanya? Setelah saya coba, rasanya asam pedas segar. Hmmm...

Seruit

Kedua, ababol. Ababol merupakan ke campuran makanan sisa yang telah dihangatkan. Misalnya, ada sisa rendang dan balado ikan, dibuang tulangnya, dipotong-potong hingga berukuran kecil, dicampur aduk sambil dihangatkan di atas kompor. Hasilnya lumayan juga.

Ababol

Ketiga, pindang patin. Mungkin makanan ini sudah sering Anda lihat. Ikan patin yang berdaging lembut 'berendam' dalam kuah kuning bening yang menyegarkan. Favorit saya.

Pindang Ikan Patin

Keempat, tadu, atau jantung pisang rebus. Rasanya tawar dan berair, cocok untuk lalapan penetral lauk yang berbumbu.

Tadu

Untuk makanan sampingan, ada cucuk gigi (snack asin berbentuk panjang-panjang) serta tat (mirip pai dengan selai nanas, namun teksturnya berbutir-butir dan agak kasar).

Cucuk Gigi
Bahasa


Salah satu hal yang paling jelas terdengar saat ada orang berbicara Bahasa Lampung adalah 'r' nya yang seperti orang Prancis, bergetar di tenggorokan. Maka ada kalanya saya tidak bisa membedakan 'metoh' (lapar) dan 'metor' (manis).

Aturan menyebut anggota keluarga pun cukup rumit. Kita dapat dengan mudah memanggil nenek kepada ibu dari ibu/bapak kita dalam Bahasa Indonesia, tapi dalam Bahasa Lampung, panggilan itu tergantung jenis kelamin. Karena saya perempuan, saya memanggil nenek saya dengan sebutan 'among', sedangkan adik saya yang laki-laki menyebut nenek saya 'ajong'. Pun sebaliknya ketika saya memanggil kakek saya.

Layaknya Bahasa Jawa yang terbagi menjadi 'Jawa halus' dan 'Jawa kasar', Bahasa Lampung pun terbagi menjadi dialek a (halus), seperti di Bandar Lampung, dan dialek o (terdengar kasar, seperti membentak) yang tersebar di daerah Menggala, dekat perbatasan Provinsi Sumatra Selatan.

Tempat Beli Oleh-oleh dan Cinderamata


Jika berkunjung ke Bandar Lampung, kurang lengkap rasanya jika tidak membeli kripik pisang. Ada beberapa tempat yang dapat Anda sambangi: Jl. Dr. Cipto Mangun Kusumo (outlet Suseno), Pasar Teluk Betung, Way Halim, serta Jl. Soekarno Hatta, Panjang.

Trivia

  • Beberapa nama daerah di Lampung seperti nama daerah di Jawa, misalnya Sumberrejo. Hal ini dikarenakan Lampung adalah provinsi tujuan transmigrasi dari Pulau Jawa, sehingga nama tempat berasal dari warga pindahan dari kota tertentu yang tinggal di satu daerah yang sama. 
  • Profesi yang paling diminati di Lampung adalah PNS dan guru.
  • Di Sumbarwaringin, Trimurjo, banyak orang berjualan semangka.
  • Di sepanjang jalan menuju Lampung Tengah dan Utara, saya melihat pom bensin AKR yang hanya menyediakan solar, dengan harga Rp 4.500. Sebelumnya saya belum pernah melihat pom bensin ini.
  • Di rumah tante saya, meski daerahnya panas, tidak ada nyamuk. Jadi membuka jendela atau pintu di malam hari, santai saja.

No comments:

Post a Comment

Pendapat Anda?