26 March 2019

My Breastfeeding Journey

Me and le bebe

First of all, saya harus bersyukur banget dikaruniai ASI yang cukup dan Raihan yang pandai menyusu since day 1.

Saya ingat waktu pertama kali Raihan dibawa ke kamar dan saya melakukan usaha menyusui untuk pertama kali, mulutnya langsung bergerak mencari puting. Suster memuji, "Wah anaknya udah pintar nyusu, tuh. Sekarang ibunya yang harus belajar menyusui yang benar."

I've read how to do proper latching, tapi praktik tak semudah teori. Waktu itu pergerakan saya terbatas habis operasi, tapi saya terus berusaha menempelkan bibirnya di areola saya untuk mencari posisi yang pas sekaligus merangsang produksi ASI.

ASI saya baru keluar di hari ketiga dan Raihan sempat menangis terus di malam kedua. Sepertinya dia lapar, tapi suster bilang bayi baru lahir masih punya cadangan makanan hingga 72 jam. Ini yang membuat saya kuat, tidak keburu kasihan dan memberinya susu formula.

Di hari ketiga, saat pijat laktasi, suster bilang ASI saya banyak. Saya iya-iya saja karena enggak tahu ukuran sedikit dan banyak ASI. Maklum, new mom.

So I started the breastfeeding journey. Di awal-awal menyusui saya malas pumping karena hasil pompa masih sedikit dan masih pakai breastpump manual, padahal harusnya saya mencicil stok ASI untuk saya tinggal kerja nanti. Dan benar saja, saat kerja, beberapa kali saya harus pulang cepat karena stok ASI sudah mau habis. Padahal rumah saya jaraknya dua jam perjalanan dari kantor. Di kantor, saya pakai breastpump elektrik yang ternyata lumayan membantu dibanding manual.

Saya menyusui langsung sekaligus pumping untuk stok selama bekerja, sampai anak umur 11 bulan. Setelah itu saya resign karena ikut suami pindah kerja ke Sumbawa. Wah, lega rasanya, enggak perlu repot cuci botol ASI-sterilkan-pasang breastpump-pompa-simpan ASI-bekukan-dan seterusnya. Buat ibu-ibu e-pumper apalagi yang istiqomah sampai anak umur dua tahun, you guys rawk!

Anyway, bersyukurlah ibu-ibu yang bisa direct breastfeeding. These are the beauties of it:


  1. Best moment adalah saat menyusui langsung. Ini momen intim dan mesra sama anak where we get to see him/her so close while stroking his/her hair and back, pinch their chubby cheeks, hug him/her, etc. Dan meleleh banget pas dia mandang kita sambil nyusu. Tingkahnyapun macam-macam. Kalau sudah agak gedean dia bisa akrobat sambil mulutnya tetap nyusu. Kebayang, enggak?
  2. Menyusui sambil tiduran, kita jadi ikut istirahat
  3. Praktis. Anak lapar tinggal buka baju terus lep. Enggak usah repot menyeduh susu, menyiapkan dot dan botol, mensterilkan botol, dll.
  4. Hemat. Tahu sendiri biaya susu formula per bulan betapa mahalnya.
  5. Nenen jadi obat rewel paling mujarab.
  6. Of course kandungan gizinya sudah sesuai dengan kebutuhan anak manusia. Bahkan saat anak sakitpun ASI bisa jadi obat.



Tapi sejujurnya ada downside-nya juga:

  1. Hanya kita yang bisa menenangkan anak, baik saat rewel maupun mau tidur. Karena dia maunya nenen. Enggak ada yang bisa gantikan kita, kan? Ayahnya saja sering diusir-usir kalau mau menenangkan dia yang terbangun tengah malam. Jadi, ya, kita kudu ikhlas me time di malam hari masih ada interupsi.
  2. Anak jadi super lengket sama kita. Well, this one is actually good, tapi to some extent bikin kita susah ngapa-ngapain karena anak maunya nempel terus. Jadilah masak, nyuci, pipis, dll sambil bawa bocah atau nunggu dia tidur dulu.
  3. Kalau puting sudah lecet, digigit, atau ditarik... Alamakjang! Namanya juga banyak saraf, jadi sensitif, kan. Awal-awal menyusui, saya sempat mengalami lecet sampai berdarah karena perlekatan yang belum pas. Tapi saya enggak rasa-rasain, tetap saya susui Raihan. Konon ASI bisa jadi obatnya.


Saya bercita-cita memberikan ASI pas 2 tahun. Jadi, waktu Raihan berumur 22 bulan, saya mengikuti saran teman-teman yang sukses menyapih dengan cinta (weaning with love/WWL) dengan sounding terus menerus. Saya bilang "Raihan nanti kalau sudah dua tahun nyusu bundanya stop, ya. Susu bunda habis."

Hasilnya? Dia hafal teori, tapi praktiknya nol. Yang ada, tiap di-sounding, dia nangis sedih kayak mau berpisah sama barang favoritnya. Enggak ada penurunan minat terhadap nenen sama sekali.

Ulang tahunnya tiba. Saya beli lilin, lagi-lagi meniru kesuksesan teman-teman saya. Sebelum tiup lilin, ayahnya kasih pesan sponsor untuk stop nyusu. Tapi dia enggak fokus. Apa mungkin karena suasana ultahnya kurang berasa, ya, karena cuma bertiga saja di rumah pakai kue kecil dan tanpa dekor. Habis itu, dia masih minta menyusu.

Lama-lama, saya merasa capek dan sering resah waktu deadline karena anak sedikit-sedikit minta menyusu di malam hari. Sudah lama menyusunya, kalau dilepas dia bangun pula. Saya sering ikut ketiduran dan tugas enggak jadi dikerjakan. Mungkin mindset itu juga yang bikin saya jadi geli lama-lama menyusui.

Di lain pihak, saya masih rada baper ngebayangin anak enggak menyusui lagi. Takut kehilangan best moment. Tapi teman saya bilang, ibunya harus benar-benar siap kalau mau anaknya WWL.

Suatu hari tetangga yang anaknya seumur Raihan bilang mau memberikan pahit-pahit ke putingnya agar anaknya berhenti menyusu. Sebenarnya saya mau melakukan jalan terakhir ini kalau Raihan masih menyusu sampai usia 27 bulan (salah satu temannya berhasil WWL di umur segini). Tapi, mendengar omongan tetangga tadi, saya jadi tertarik mencoba.

Iseng, Sabtu siang saat Raihan sudah ada gelagat mau tidur, saya seduh sedikit kopi bubuk (yang tanpa gula atau krimer) dengan air biasa, lalu saya oleskan ke sekitar puting. Awalnya, seperti biasa dia langsung menempelkan mulut ke puting, tapi kemudian langsung melepasnya dan melepeh karena merasa pahit. Dia minta minum air putih untuk membilas rasa tidak enak di mulutnya.

Dia kemudian minta menyusu di payudara sebelahnya. Tapi baru saya buka bra, dia sudah mengernyit karena melihat warna hitam kopi di sekeliling puting. Dia merengek. Saya menepuk-nepuk pantatnya dan mengelus-elus punggungnya supaya dia tidur. Enggak mempan. Saya gendong enggak mau. Saya nyanyikan dia bosan. Saya dongengi, dia malah antusias ikut cerita dan enggak jadi ngantuk. Ternyata cara yang ampuh adalah membiarkan dia nonton video di HP sampai tertidur sendiri.

Malamnya dia tantrum sebelum tidur dan saya hampir menyerah karena tidak tega. Tapi suami mengingatkan untuk kekeuh. Alhamdulillah akhirnya Raihan bisa ditidurkan dengan cara lain.

Selama beberapa hari Raihan masih menagih ASI. Tapi saat saya ingatkan dia "susu Bunda pahit, lo", dia biasanya tidak lagi meminta dan berusaha tidur dengan cara lain. Beberapa kali minta nonton video di HP, kali lain dia membalikkan badan dan tidur sendiri atau saya elus-elus dan tepuk-tepuk.

Surprisingly, setelah dijalani, ternyata saya enggak baper kok. Toh saya masih bisa tidur di sebelahnya, memeluk sambil mengelus-elus rambutnya.

Malah Raihan tidur lebih nyenyak, bangun tengah malam lebih jarang dibanding saat masih menyusu. Kelebihan lainnya, welcome back baju-baju tanpa kancing depan! Saya juga jadi lebih tenang meninggalkan Raihan bersama ayahnya saat saya harus pergi sendirian.

Payudara saya memang agak keras di hari-hari awal menyapih. Karena breastpump saya tinggal di Jakarta, saya perah pakai tangan. Awalnya saya tampung untuk diminumkan ke Raihan, tapi di kali kedua saya biarkan terbuang saat mandi. Ternyata memerah ASI pakai tangan sampai habis pegal juga, ya? 😅

Alhamdulillah hanya dua kali perah dengan jarak sekitar 3 harian, sekitar dua minggu kemudian payudara sudah tidak bengkak lagi. Berarti produksi susu saya sudah berhenti.

Setelah menyapih, Raihan minum susu rekreasional saja. Susunyapun bukan susu formula, melainkan susu UHT. Sebab, saya baca-baca, kandungan gizi susu UHT lebih terjaga karena proses pengolahannya tidak sepanjang susu bubuk (formula). Lagipula susu UHT lebih praktis, mudah didapat, dan murah.

Saya biasanya kasih yang plain biar enggak terlalu banyak konsumsi gula, meski saya kasih yang manis juga kadang-kadang. Saya tetap mengutamakan makan karena alhamdulillah Raihan tipe anak yang lumayan gampang makan.

Well, setiap anak memang unik, ya. Di anak lain metode sounding, tiup lilin, dan lain-lain ampuh, ternyata di Raihan enggak. Jadi saya terpaksa pakai cara ini. Anak-anak lain minum sufor pascamenyapih, Raihan cukup susu UHT. Alhamdulillah so far Raihan dan saya baik-baik saja.

Kalau Anda, metode menyapih apa yang berhasil dan di umur berapa?

2 comments:

Pendapat Anda?